Pulang




Judul: Pulang
Pengarang: Toha Mohtar
Penerbit: Pustaka Jaya, 2008

Pulang. Kosa kata ini mungkin salah satu kata paling emosional dan memiliki makna jauh lebih dalam dari perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Pulang seringkali dimaknai sebagai perjalanan jiwa, perasaan, atau berarti sebuah keputusan besar. Pulang juga bermakna perjalanan menuju ke garis finish, secara harfiah ataupun metafor. Dalam bahasa Inggris, pulang bisa bersanding dengan home, kata yang bukan sekedar rumah dalam bentuk fisiknya. Arti ini juga yang disajikan oleh Toha Mohtar melalui perjalanan tokohnya yang bernama Tamin.

Setelah tujuh tahun menjadi heiho di Burman, Tamin akhirnya kembali ke kampung halamannya di kaki Gunung Wilis. Jelas sekali ia mengalami perjalanan yang emosional. Di ujung jalan kampung, ia terpaku memandangi perkampungannya. Kenangan masa kecil berhampuran, terhampar hingga rumah bambu keluarganya. Membuatnya menangis antara bahagia dan tidak percaya. Dalam pertemuan penuh haru dengan keluarga, Tamin, pemuda gagah yang ditempa pengalaman pun terpacu untuk mengambil peran sebagai tulang punggung bagi orangtua dan adik perempuannya. Uang yang dikumpulkan selama di Burma ia gunakan untuk membeli kembali sawah milik leluhur dan menggarapnya penuh suka cita. Namun, semua berubah dalam semalam. Tamin kehilangan kepercayaan diri setelah menyadari penduduk di kampungnya terlibat penuh dalam perjuangan kemerdekaan. Sementara Tamin justru menjadi pesuruh penjajah.

Novel tipis ini adalah roman klasik karya penulis asal Kediri. Dengan bahasanya yang ringan dan sederhana, Toha Mohtar menenggelamkan kita pada pergulatan batin tokohnya. Antara kerinduan menemukan pijakan tempat kembali dengan kekhawatiran akan penolakan. Memiliki rekam jejak masa lalu yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang ada di komunitasmu memang menjadi momok menakutkan. Rumah yang seharusnya menentramkan justru membuat kita gelisah dibayangi berbagai ketidaknyamanan. Tamin membayangkan cemooh dan rasa malu yang akan dialaminya sepanjang hidup. Mimpi masa depan gemilang menjadi petani tiba-tiba luruh akibat ketakutan yang dibayangkannya. Dengan gontai, Tamin memutuskan pergi mengembara. Namun, Tamin lupa satu hal. Ia lupa memastikan. Betulkah tetangga dan keluarganya membenci masa lalu yang tidak diinginkannya?

Ini novel tipis, tapi sangat jeli menyampaikan sisi lain tentang era transisi antara perang menuju kemerdekaan. Kondisi psikologis seorang mantan heiho yang harus menghunuskan senjata pada kaumnnya sendiri. Tentang menjadi liyan di kampung tempat dia pertama kali menyentuh bumi. Dalam kisah-kisah era penjajahan dan kemerdekaan, sisi ini jarang terkespos sebagai pribadi yang protagonis. Lampu sorot sering sekali disorot pada para 'pahlawan' dalam bingkai yang heroik, sementara mereka yang berada di pihak lawan terbingkai sebagai penjahat. Sekalipun kasusnya seperti Tamin yang tak punya banyak pilihan.            
      

Comments