Saat adegan dibuka dengan pemandangan tiga reklame usang di pagi berkabut dan diiringi lagu opera melow, saya tahu film ini bukan film gembira.
Semakin jelas ketika seorang ibu mendatangi biro iklan pemilik tiga reklame itu dan menyewanya setahun penuh untuk satu tujuan. Menarik perhatian publik. Menekan kepolisian untuk segera menuntaskan kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa anaknya berbulan-bulan lalu.
Caranya sederhana, menuliskan tiga kalimat menohok ini di tiga reklame di pinggiran jalan sepi: "Raped While Dying", "And Still No Arrests?", and "How Come, Chief Willoughby?" ["Diperkosa saat sekarat", "Dan belum juga ada penangkapan", "Bagaimana bisa, Ketua Willoughby?"].
Ketika warga, pemuka agama, dan kepolisian bereaksi (sebagian besar negatif) atas iklan itu, kita dibawa pada harapan bahwa pelaku segera tertangkap. Sebaliknya, kita disajikan pada alur tak terduga yang mengaduk-aduk perasaan. Sesekali 'diberi' harapan film ditutup dengan adegan happy ending.
Tentu saja tidak. Film ini tidak seperti Spotlight yang sangat heroik. Film ini lebih menceritakan pergulatan emosi seorang ibu antara menuntut keadilan dan balas dendam. Antara penyesalan dan memaafkan. Antara kemarahan dan merelakan. Tapi tetap sarat kehidupan kelas pekerja kota kecil dan isu SARA yang tak pernah usang.
Sebagai ibu tunggal, kita akan bangga pada Mildred yang gigih berjuang. Tapi dalam waktu bersamaan, kita kesal pada jalan lain yang dipilih Mildred. Misalnya ketika dia membakar gedung kepolisian dan melukai kuku seorang dokter gigi yang nampak kontra dengannya. Tapi inilah gambaran nyata tentang rasa frustasi.
Kita juga akan benci pada Dixon, polisi yang mewakili semua sifat amoral, mulai dari mabuk-mabukan, banal, sampai rasis. Dialah bawahan paling kontra dengan Mildred dan siapapun yang menolong Mildred. Tapi pada satu sisi, dia adalah pribadi sentimentil yang mudah tersentuh. Menggambarkan manusia yang dinamis dan bisa berubah. Berkat Dixonlah, Mildred justru mengerti cara merelakan dan memaafkan (yang bukan berarti berhenti berjuang). Cerita ini ditutup dengan misi 'balas dendam' untuk korban pemerkosaan lain. Tak jelas apakah misi itu terlaksana. Keputusan diambil dalam perjalanan. Iya, dalam perjalanan hakiki pun kita bisa dan akan terus berubah.
Walau bertema berat, film dibumbui humor-humor yang tidak lazim tapi mengundang tawa. Konon, ini menjadi keahlian sang sutradara film, Martin McDonagh. Membungkus keseluruhan cerita secara mengesankan.
Saya berharap film ini menggondol beberapa penghargaan di ajang Oscar 2018. Terutama untuk Best Picture. Yah, mengingat sejauh ini belum ada yang menyaingi pendalaman karakternya Timothee Chalamet di Call Me By Your Name.
Comments
Post a Comment