Neil adalah
pelajar di Weston. Sekolah khusus laki-laki yang dikenal disiplin dan berhasil
meluluskan murid-murid yang melanjutkan pendidikan di Ivy League. 8 kampus
bergengsi di Amerika Serikat. Neil pribadi yang penuh gairah. Dia pintar secara
akademis sekaligus memiliki banyak ketertarikan pada kegiatan ekstrakurikuler.
Bermain peran adalah ketertarikan terbesarnya. Neil sempat berusaha mengubur
segala ketertarikannya setelah ditekan sang ayah untuk segera menyelesaikan
sekolah. Namun, gairahnya kembali meletup-letup sejak kelas Bahasa Inggris
diampu oleh Tuan Keating.
Keating menawarkan
metode mengajar tak biasa. Hari pertama, ia mengajak seluruh muridnya menyobek
kata pengantar yang mengkotakkan definisi puisi. Ini menjadi langkah awal
Keating untuk mendorong muridnya agar berani berfikiran bebas tentang segala
hal. Termasuk mendefinisikan kembali puisi berdasarkan sudut pandang setiap
murid. Di kelas, Keating berdiri di atas meja, mengajarkan bahwa sesuatu bisa
berbeda, jika dilihat dari sudut yang lain. Keating juga kerap memberi materi
di luar kelas sembari olahraga. Cara
mengajar Keating disambut suka cita di tengah cara belajar monoton dalam kelas
yang berlangsung satu arah.
Dari buku alumni,
diketahui bahwa Keating punya sejarah pembangkangan dengan perkumpulannya
bernama Dead Poet Society. Setiap malam, perkumpulan yang terdiri dari beberapa
murid ini akan berkumpul dan saling membacakan puisi dari pujangga-pujangga
tersohor di tempat rahasia. Fakta ini secara tidak langsung menginspirasi Neil. Neil berinisiatif menghidupkan kembali perkumpulan
ini dengan mengajak keenam teman satu gengnya. Tidak berhenti di sini, Neil
bahkan nekat untuk kembali beraktifitas di dunia teater tanpa sepengetahuan
orangtuanya.
Di sini konflik semakin meningkat. Malam usai pementasan teater
yang disambut apresiasi berbagai pihak, Neil harus menunduk lesu setelah sang
ayah memutuskan mengeluarkannya dari sekolah dan memintanya kembali fokus
mengejar karir pendidikan kedokteran. Gairah Neil redup seketika dan ia menyerahkan
hidupnya pada pistol hitam milik sang ayah. Ini penghujung adegan yang tragis.
Bukan hanya karena kematian Neil, tapi juga karena tidak ada perubahan sistem
atau pola pikir orangtua dalam memandang pendidikan. Setidaknya di film ini.
Namun, tidak bisa
dibantah lagi. Film karya Peter Weir ini berhasil menyajikan tontonan yang baik
untuk mengevaluasi sistem pendidikan dan menyajikan narasi dunia pendidikan
kaku yang memandang murid sebagai mesin. Narasi ini tidak hanya terjadi 28
tahun lalu, tapi juga hari ini. Tidak perlu jauh berkaca pada Amerika. Di
Indonesia, narasi pendidikan yang sama muncul dalam pola berbeda. Anak-anak
memenuhi kewajiban belajar pagi sampai siang. Setelah itu mereka disibukkan
dengan berbagai les pelajaran untuk melancarkan ujian. Aktifitas ini tidak
termasuk ekstrakurikuler. Seringkali, sistem membuat murid harus mengikuti
semuanya tanpa ada celah kompromi. Tidak heran jika anak-anak sering pulang
dalam kelelahan. Lima hari dalam seminggu, mereka berjibaku dengan pelajaran
sesuai kurikulum yang hampir seluruhnya berada di dalam ruang kelas. Sekolah
yang menerapkan pendidikan yang lebih aplikatif dan dekat dengan kehidupan
murid jumlahnya masih sedikit.
Narasi tersebut
disajikan Peter Weir selama dua jam tanpa membosankan. Tersentral pada Tuan
Keating dan murid di kelasnya, Weir mengkritik sistem pendidikan dari hal
paling sederhana. Melalui perubahan metode belajar di ruang kelas. Satu-satunya
celah yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong perubahan sistem. Keating berusaha
memanusiakan kembali murid-muridnya yang sedang membentuk diri mereka menjadi robot.
Sekolah, belajar, mengejar karir, mendapat uang, dan kaya. Kutipan ini
mencerminkan kritik Peter Weir pada sistem pendidikan yang sejujurnya sampai
hari ini masih terus diterapkan.
We don’t read and write poetry because it’s
cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And
the human race is filled with passion. And medicine, law, business,
engineering, there are noble pursuits and necessary to sustain life. But
poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for.
(Kita membaca dan menulis puisi bukan
karena puisi itu manis. Kita membaca dan menulis puisi karena kita bagian dari
umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah. Bidang kesehatan, hukum,
bisnis, teknik, semuanya sangat mulia untuk dikejar dan penting untuk menopang
hidup. Tapi puisi, keindahan, romansa dan cinta adalah alasan kenapa kita
hidup).
Ini bagian dari
adegan awal dan kita sudah tahu, bahwa Keating membawa misi besar ke ruang
kelasnya. Dia meyakini bahwa pendidikan tidak hanya sekedar untuk bertahan
hidup dengan mengejar karir setinggi mungkin, tapi tidak empati pada sekitar. Meskipun
kebijakan tidak berubah, tapi orang-orang seperti Keating yang mencintai
profesinya pasti akan memanfaatkan celah apapun untuk melakukan revolusi. Dan
celah terbesar itu bernama metode belajar. Keating memang dipecat, tapi ia
meninggalkan jejak. Murid-muridnya telah berubah. Mereka menolak menjadi mesin.
Terutama dalam kebohongan.
Ini film lama,
rilis tahun 1989. Tapi secara kontekstual, film ini masih relevan hingga
sekarang. Menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk merevolusi
sistem pendidikan.
Comments
Post a Comment