Shashi adalah tipikal perempuan tradisional
India. Sehari-hari ia mengenakan sari dan mengabdikan dirinya sebagai ibu rumah
tangga yang mengisi waktu luang untuk berjualan ladoo pada tetangga. Ia sangat
menikmati perannya kecuali satu hal. Shashi tidak mahir berbahasa Inggris. Bahasa
yang digunakan dalam lingkaran kerja dan pergaulan suami dan anak-anaknya. Saat
Shashi salah melafalkan kata jazz, ia harus rela menjadi bahan cemoohan anaknya
sendiri. Ini membuat Shashi menyadari bahwa perannya sebagai ibu rumah tangga dan
aktifitasnya sebagai penjual ladoo tidak
akan pernah dihargai selama ia tidak mahir berbahasa Inggris. Kesempatan untuk
mengubah kondisi ini datang ketika Shashi diundang untuk membantu menyiapkan
pernikahan keponakannya di New York.
Sebagai film
panjang perdana, Gauri Shinde secara mengejutkan berhasil menyajikan English
Vinglish dengan baik dan amat layak ditonton. English Vinglish bukan hanya film
tentang upaya seorang perempuan agar bisa berbahasa Inggris, tapi juga tentang
steretotipe, budaya patriarki, kesetaraan gender, dan nasionalisme. Tema-tema
yang tidak asing dalam sinema India, tapi menggunakan aspek bahasa sebagai
media utama untuk mengkritik semuanya adalah sesuatu yang segar. Pada saat yang
sama, aspek bahasa sebagai cermin kelas sosial di masyarakat adalah hal yang
akrab kita temui dan pada satu sisi membatasi ruang sosial seseorang. Kita umumnya menyadari bahwa orang yang mahir berbahasa asing cenderung lebih dihargai dan dianggap lebih baik dari mereka yang hanya menguasai bahasa ibu. Atau, cermin bahasa sebagai kelas sosial bisa dilihat di Yogyakarta. Penutur bahasa Jawa paling halus biasanya keluarga bangsawan seperti keraton dan kerabatnya.
Gauri Shinde
sendiri mengungkapkan bahwa ide film ini berdasarkan pengalaman pribadi yang
dialami dalam keluarganya. Ibunya sendiri merupakan perempuan yang tergambarkan
dalam karakter Shashi dan Gauri adalah anak perempuan yang merasa malu pada
fakta ibunya seorang tradisional yang tidak mahir berbahasa Inggris. Ini film
yang didedikasikan Gauri untuk sang ibu sekaligus sebagai permintamaafan Gauri
atas sikap di masa lalunya.
Memilih Sridevi
untuk memerankan karakter Shashi merupakan keputusan tepat. Sebagai pemain lama
sinema India, peran-peran yang dimainkan Sridevi di hampir semua filmnya amat
lekat dengan citra perempuan tradisional. Terutama era sebelum Kuch-kuch Hota
Hai yang membuka era baru industri film India yang lebih ‘modern’. Ditandai
misalnya dengan pemilihan lokasi syuting di negara-negara maju seperti Inggris
dan Amerika. Di tengah era baru ini, Sridevi cukup merefresentasikan citra
perempuan tradisional India yang langkah terjauhnya adalah rumah tetangga
pemesan ladoo buatannya. Inilah yang membuat Shashi khawatir luar biasa saat
harus pergi sendirian ke New York sebelum disusul suami dan anak-anaknya di
hari H pernikahan. Sehari sebelumnya, Shashi gelisah tidak bisa menutup mata.
Beruntung, dalam
perjalanan perdananya, ia duduk dengan pria India yang tahu kegagapan Shashi.
Membimbing Shashi untuk lebih percaya diri terlepas dari ketidakmampuannya
berbahasa Inggris. Pria itu adalah Amitha Batchan, si legenda sinema India yang
hadir sebagai simbol nasionalisme India yang percaya diri melalui percakapan
sederhana di ruang imigrasi, ‘Saya ke Amerika untuk membantu kalian,’ kata
Amitha dengan santai pada petugas imigrasi. ‘Kamu tahu, menghabiskan sedikit
dolar untuk memulihkan perekonomian kalian’ pungkasnya.
Cerita selanjutnya
terjadi di New York. Shashi yang takjub dan gagap pada modernitas New York yang
tak pernah ia temui. Shashi yang diterima baik dan dikenalkan pada hiruk pikuk
si apel besar oleh keluarganya. Namun ia tetap merasakan hal yang sama. Ia
merasa berada di luar lingkaran ketika keluarganya mulai berbincang dalam
bahasa Inggris. Ini tidak pernah terpikirkan, tapi tragedi
memalukan yang emosional di sebuah kafe mengantarkan Shashi untuk nekat
mengikuti kursus bahasa Inggris secara diam-diam.
Shashi jelas murid
yang berbakat dan kritis. Sepanjang belajar, Shashi bergaul dengan orang dari
berbagai latar belakang. Koki dari Prancis, supir taksi asal Pakistan, pengasuh
bayi orang Meksiko, dan lainnya dengan konflik masing-masing. Membuatnya tahu
jika aktifitas berjualan ladoo yang dikerjakannya adalah profesi entrepreneur. 'Small business' kata Shashi. Bukan pekerjaan tak berharga sebagaimana anggapan sang suami.
Sepanjang plot ini
kita akan disajikan pada kritik-kritik yang disampaikan oleh Shashi melalui
kegelisahaan dan keluhan. Semuanya tersampaikan seolah tanpa sadar. Shashi secara
reflektif berkata, ‘Ketika dikerjakkan oleh laki-laki, makanan adalah seni.
Tetapi ketika dikerjakkan oleh perempuan, itu adalah sesuatu yang biasa’.
Sebagai lelaki yang dibesarkan dalam nilai-nilai kesetaraan tinggi di Prancis,
Laurent yang menjadi pendengar keluhan Shashi menolak anggapan Shashi dan menilai kemampuan yang dimiliki Shashi sama berharganya seperti
profesi lain tanpa mengenal jenis kelamin.
Apa yang secara
jelas ditekankan oleh Gauri adalah, bahasa bukan alat untuk mengubah identitas
Shashi sebagai orang India. Gauri hanya menempatkan bahasa agar peran-peran
yang diambil oleh Shashi lebih dihargai. Terutama oleh keluarganya. Gauri juga berusaha mengikis steretipe tentang citra perempuan tradisional India yang dinilai kolot. Semua
diraih Shashi tanpa merendahkan. Shashi bahkan tetap memakai sari sepanjang
film. Simbol bahwa Shashi tidak berambisi mengubah identitas keindiannya
sekalipun ia sudah mahir bahasa Inggris dan berani menyusuri New York
sendirian.
Dalam idenya yang
sederhana, English Vinglish hadir menjadi film kritis yang tersaji secara santai.
Kita akan menyadari bahwa selera
bercanda yang kita anggap sepele dan biasa nyatanya menggambarkan pola pikir
kita pada sesuatu.
Bagi Sridevi yang
sudah ‘cuti’ selama 15 tahun, English Vinglish jadi film comeback cerdas. Saya seperti melihat transformasi Sridevi dari
beberapa era perfilman India hanya dalam film English Vinglish. Sebelum
meninggal pada Februari 2018 lalu, Sridevi bermain dalam dua film.
Comments
Post a Comment