Selepas magrib,
indera pendengaran saya menjadi lebih peka pada suara-suara baru di sekitar
kamar kosan. Kemarin hari pertama saya resmi menempati hunian baru di daerah
Gampingan, tidak jauh dari Jogja National Museum (JNM). Depan rumah, saya
melihat anak-anak ‘nongkrong’ dekat angkringan sambil menyanyikan lagu Havana
milik Camilla Cabeo. Tentunya dengan deretan lirik yang diubah menjadi lebih
etis menurut standar moral setempat. Mereka baru berhenti bernyanyi saat
memasuki waktu isya.
Sore harinya saya
mendengar seorang warga mengumumkan lomba desain dari pengeras suara.
Menunjukkan bahwa ada masjid tidak jauh dari kosan. Semakin jelas ketika
mendengar suara adzan yang cukup keras. Hal paling kontradiktif adalah suara
kokok ayam yang membangunkan saya sejak jam 2.30 dini harinya. Tepat dari rumah
belakang kosan. Dua ayam saling berkolaborasi bergantian dengan suara kokok berbeda.
Satu nyaring, satunya lebih lembut. Ini kontradiktif karena sebelumnya saya
tinggal di perkampungan cenderung jauh dari kota. Saya tidak pernah mendengar
suara kokok ayam selama tinggal di kontrakan lama. Saya bahkan jarang mendengar
suara adzan.
Hunian lama berada
di ujung kampung. Tetangga saya hanya pemilik rumah dan warung mie ayam. Lebih
sepi, terutama di siang hari. Suara yang paling sering saya dengar adalah bunyi
lalu lalang kendaraan bising karena rumah berada tepat di muka jalan. Pada
malam hari, telinga saya banyak dihibur oleh bunyi kodok. Semakin ramai dengan
bunyi ‘tung, tung, tung’ saat air sawah melimpah. Namun di hunian lama saya
mencintai setiap pemandangan sekitar rumah. Udara sejuk menyeruak dari
pepohonan dan sawah. Depan rumah saya ada pohon bambu kecil dan taman. Dirawat
dengan baik oleh pemilik. Saya juga senang menyambut matahari pagi dari
jendela. Warna keemasan paginya biasa memompa semangat untuk beraktifitas juga
untuk meneruskan tidur (kasus yang paling sering terjadi :D). Setiap pagi
banyak warga berolahraga tidak peduli itu hari libur atau hari kerja. Mereka
akan melintas depan rumah. Tua muda dan anak-anak. Suasana yang jelas berbeda
dengan kosan baru.
Hunian baru ini
memang cenderung dekat dengan pusat wisata dan jalur transportasi masal seperti
kereta dan pesawat terbang. Keduanya akan sangat akrab terdengar dari kamar
kosan setiap beberapa menit. Bahkan suara pesawat terbang jauh lebih nyaring
dibanding kereta yang jarak lintasannya lebih dekat dengan kosan. Saya menghuni
kamar di lantai dua dan berada di pojokan depan dengan jendela depan membuat
cahaya matahari melimpah.
Saya tidak
terganggu dengan suara-suara di hunian baru ini. Sebaliknya, saya cenderung
menikmati setiap bunyi yang menembus dinding kamar, termasuk suara berbagai
jenis burung. Sepertinya peliharaan warga karena saya tidak menemukan banyak
pepohonan selain pohon sawo raksasa di halaman rumah klasik milik tetangga.
Suara-suara ini mengimbangi pemandangan khas perkampungan tengah kota yang absen
dari hijaunya sawah dan pepohonan. Pemandangan yang telah mengakrabi saya
selama dua tahun ke belakang. Namun di sini saya kembali merasakan suasana
hangatnya kehidupan perkampungan. Aktifitas seperti tiada habis.
Sekalipun dekat
dengan jalan raya, suara kendaraan cenderung samar-samar. Hal sama yang saya
temui di hunian baru ini adalah kegiatan kesenian. Sama halnya dengan hunian
lama, kawasan ini memiliki beberapa galeri. Termasuk JNM tempat berbagai
kegiatan seni dilaksanakan. Dalam beberapa hari ke depan, JNM akan menjadi
kawasan Art Jog. Salah satu gelaran seni terbesar di Yogyakarta yang akan
berlangsung selama sebulan. Hal lain yang membuat saya lebih bahagia adalah
akses ke pasar tradisional. Jarak kosan dengan pasar Serangan hanya beberapa
meter. Memudahkan saya ‘bermain’ kapan saja.
Setelah sekian
tahun berpindah-pindah hunian, saya kira saya sudah lebih mudah beradaptasi
dengan lingkungan baru dan lebih peka pada hal-hal unik yang saya temui di
setiap hunian. Mudahnya proses adaptasi ini saya ukur dari aktifitas BAB.
Biasanya, saya butuh waktu lama untuk bisa BAB di lingkungan baru. Kecuali jika
saya diare seperti kejadian di OKI beberapa bulan lalu. Sekarang, saya sudah
bisa BAB begitu mules.
Mudahnya proses
adaptasi ini terjadi karena saya setiap tahun berpindah hunian mengikuti
kebutuhan dan budget. Tiga tahun ke
belakang, saya menghuni kosan di perkampungan tidak jauh dari jalan lingkar
selatan. Perkampungan sekitar kampus ini secara geografis masih dipenuhi
pepohonan dan petak sawah, namun juga kawasan yang semakin padat karena
hadirnya hunian baru untuk kos-kosan atau kontrakan. Hasilnya, hunian itu ramai
penduduk tapi masih terbilang alami. Saya masih bisa menikmati suara kodok juga
menemukan beberapa binatang kecil.
Empat tahun ke
belakang, saya tinggal beberapa kilometer dari pusat kota. Di kawasan Gamping
barat. Hunian itu merupakan kawasan perumahan yang terletak di kaki bukit.
Meskipun ramai penduduk, lepas isya warga cenderung lebih nyaman beraktifitas
di dalam rumah. Ini membuat kawasan itu sepi kecuali saat ada kegiatan besar
seperti hari raya. Di sana waktu menjadi pendek. Biasanya saya akan lekas
tidur. Bangun untuk kerja. Begitu selanjutnya. Monoton bagi saya yang sedang
menikmati masa-masa kerja, tapi bagi para pensiunan, (yang banyak menghuni
kawasan) suasana seperti mungkin sangat disyukuri. Tenang dan amat santai untuk
melakukan aktifitas ringan mengisi masa pensiun. Jauh dari laju kencang khas
perkotaan.
Bagaimanapun,
hunian itu meninggalkan kesan. Misalnya ketegangan yang selalu saya rasakan setiap
kali berkendara diantara bus dan truk. Juga saat kendaraan harus melintas taman
makam pejuang 45. Jalanan menanjak sekitar taman itu cenderung gelap. Kendaraan
saya yang turun mesin harus berjuang keras untuk bisa menggelinding. Ini
menegangkan jika melintas makam saat matahari terbenam. Saya kerap merinding. Konon,
menurut Pak RT kawasan makam itu dihuni arwah gentayangan. Mereka usil. Lampu
jalan yang dipasang warga selalu mati. Untungnya, cerita ini kami dapat saat
kami berpamitan akan pindah pada Pak RT.
Kini, saya melihat
semuanya sebagai hal-hal menarik. Setiap hunian menyajikan kekhasan sendiri. Di
hunian baru ini, saya akan menikmati panas luar biasa karena berada di kawasan
padat penduduk. Pada saat yang sama saya akan menikmati berbagai kemudahan
mengakses fasilitas publik lainnya. Saya juga terpikat oleh beberapa rumah
dengan arsitektur lama. Termasuk lama pemilik kosan. Salah satu nilai lebih
dari kawasan ini disamping biaya kosan yang murah :D. Tak bisa dipungkiri kalau
saya akan merindukan parit-parit dengan air melimpah di hunian lama. Jadi, apa yang
membuat kamu nyaman dengan hunianmu saat ini?
cek
ReplyDeletememang ya, ini juga aku rasain begitu pindah dari kawasan yang padat, penjual makanan berlimpah secara daerah mahasiswa, kemudian pindah ke Sleman yang jauh dari lingkungan kampus, malam terasa sepi nyenyep istilahnya karena begitu isya selesai hampir ga ada aktifitas dari warga kampung. Saya yang terbiasa jalan pergi keluar malam habis isya jadi merasa ga enak sendiri kalau pergi malam-malam. hehehe. positifnya jadi berkurang waktu main malam nya tapi ga enaknya ga bisa lagi seenak jidat jajan sana sini, hehehe.
ReplyDeleteHahaha, sebenarnya paling menyenankan menikmati setiap perubahan. Harus cari alternatif buat bersiasat. Misalnya di kos baru ini gak bisa jalan pagi serutin dulu karna di tengah kota bising dan rame. Akhirnya harus banyak nonton workout di Youtube :D
Delete