Mengenal Akulturasi Budaya Indonesia-Tionghoa dalam Kuliner Nusantara



Judul                     : Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara
Bahasa                 : Indonesia
Negara                 : Indonesia
Penerbit              : Kompas Penerbit Buku
Penulis                 : Aji ‘Chen’ Bromokusumo
Halaman             : 218

Beberapa hari ke belakang, warganet Indonesia dan Malaysia disatukan oleh rendang setelah kontroversi penilaian juri Masterchef Inggris menyebar di media sosial. Media nasional mengangkat isu ini dari berbagai kaca mata. Salah satu yang menarik adalah pengulasan asal usul rendang dan bagaimana rendang menyebar berkat diaspora warga dari Padang ke wilayah Asia lainnya. Seorang pakar kuliner memaparkan latar belakang kuliner Indonesia yang sangat beragam dan mengalami proses akulturasi. Di akhir dia berkata, ‘Jika kita (Indonesia) terus berdebat soal klaim kuliner asli, maka habislah kita kalau India dan Cina mengklaim’.

Ucapan ini tidak salah. Kuliner di Indonesia saat ini telah melintasi berbagai zaman dan mengalami proses penyesuaian sedemikian rupa. Proses ini berkelindan dengan manusia dari berbagai latar belakang. India, Arab, Eropa, dan Cina. Buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Indonesia menyajikan daftar kuliner asal Negeri Ginseng yang sudah mengalami proses akulturasi dan asimilasi di Nusantara. Kita bisa dengan mudah mengidentifikasinya dari nama jenis kuliner, seperti semua kuliner yang berawalan bak. Bakso, bakpau, bakpia, bakwan, dan sebagainya adalah kuliner dari negeri Cina yang sudah mengalami modifikasi dari aslinya. Bak sendiri artinya adalah daging. Dalam proses akulturasi, bakpia di negeri asalanya berisi daging telah berubah menjadi kudapan manis.

Di luar daftar makanan yang berderet, pendatang dari Cina juga mengenalkan teknik memasak baru yang tidak dikenal di Indonesia seperti menumis. Berdasarkan catatan buku ini, Indonesia kala itu hanya mengenal teknik memasak seperti mengukus, merebus dan menggoreng dengan minyak yang banyak. Menumis baru kemudian dikenal setelah terjadi interaksi antara penduduk Indonesia dengan pendatang.

Daftar bumbu masakan juga mengalami proses akulturasi. Sebut saja kecap yang menjadi ‘sambal’ favorit di hampir sebagian besar masakan Indonesia. Mulai dari makanan berkuah seperti soto hingga makanan kering seperti aneka gorengan. Tidak lengkap jika tidak ada kecap sebagai pendamping. Di negeri asalnya, lagi-lagi, kecap bukan sebagaimana kita kenal sekarang sebagai jenis kuliner berbahan dasar kedelai yang diolah ke dalam ragam jenis seperti kecap manis dan asin. Di Cina, kuliner ini tampil dalam rasa asin. Proses akulturasi antara pendatang (kemudian peranakan) dan masyarakat Jawa – khususnya Jawa Tengah yang menyukai makanan manis—menghasilkan kecap seperti yang kita kenal sekarang. Berkat proses ini, kecap manis menjadi identitas kuliner Indonesia yang mendunia.

Panjangnya daftar akulturasi kuliner Indonesia yang berasal dari Cina tidak bisa dibantah jika kita melihat sejarah kedatangan orang Cina ke Indonesia. Dalam situs wawasan sejarah tercatat orang Cina mulai mendarat di Indonesia pada abad ke 11. Saat itu, tujuan utama mereka adalah berdagang dan mencari kehidupan yang lebih baik. Migrasi ini terjadi setelah jatuhnya Dinasti Ming. Dengan catatan sejarah interaksi yang panjang ini, kuliner menjadi salah satu bagian yang tak terlepaskan dalam proses akulturasi dan asimilasi. Aji ‘Chen’ Bromokusumo sendiri mencatat, hampir seluruh jenis kuliner hasil akulturasi budaya peranakan di Indonesia muncul dalam ragam baru yang sama sekali berbeda dengan aslinya. Kuliner peranakan Tionghoa di Indonesia telah menjelma menjadi identitas baru yang hanya ada di Nusantara. Bahkan, wujudnya berbeda antar daerah.       

Buku ini juga membawa kita mengenal arti setiap jenis kuliner dalam budaya peranakan Tionghoa di Indonesia. Setiap jenis kuliner yang dipilih dalam perayaan menjadi simbol penuh arti positif. Misalnya penyajian mi dalam perayaan budaya Tionghoa memiliki arti kesehatan dan umur yang panjang. Mi menjadi simbol usia yang panjang. Kita juga dibawa mengenal sejarah lahirnya setiap jenis kuliner. Kue bulan yang jadi panganan khas pertengahan musim gugur (di Cina) yang di Indonesia dirayakan di Bulan Desember, lahir dari legenda yang berkelindan dengan sejarah dinasti di Cina. Tentang seorang perempuan yang terbang ke bulan dan hanya kembali pada tanggal perayaan untuk bertemu dengan suaminya.

Kekurangan buku ini hanya satu, catatan sejarah tentang beberapa proses akulturasi jenis kuliner. Apalagi prosesnya tak terlepas juga dari Belanda. Ini bisa jadi karena sumber rujukan yang tidak bisa ditemukan, sebagaimana asal muasal opor yang tersaji dalam menu warga Indonesia, khususnya umat muslim saat hari raya Idul Fitri. Menurut Aji, belum ada satu orangpun yang berhasil menemukan referensi asal muasal makanan lezat ini. Tapi saya setuju pada Aji, kuliner adalah salah satu jalan terbaik dalam proses akulturasi dan asimilasi antar budaya.
        
        

Comments