Mojokerto tidak
jauh berbeda dengan kota kecil lainnya di Provinsi Jawa Timur. Tidak banyak
bangunan modern pencakar langit seperti di Surabaya. Kota ini sekilas
mengingatkan saya pada Tuban yang saya lihat dalam perjalanan sebentar menuju
Lamongan. Tentu saja, yang membuat Mojokerto berbeda dengan wilayah lain di
Jawa Timur adalah jejak peradaban masa lalu. Di sinilah Kerajaan Majapahit
memusatkan pemerintahannya. Tepatnya di Trowulan yang diyakini sebagai ibu kota
kerajaan. Di sini pula perjalanan saya mengenal langsung Majapahit bermula. Di
museum yang berdiri di atas wilayah konservasi puing-puing peradaban.
Selama lebih dari
8 jam kami dipandu oleh petugas Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur.
Dimulai dari pengenalan secara menyeluruh mengenai museum, BPCB, dan kegiatan
yang mereka lakukan. Dari sekian rangkaian acara, yang amat mengesankan bagi
saya adalah kunjungan pada salah satu situs konservasi tidak jauh dari museum.
Di situ saya melihat langsung gambaran kehidupan era Majapahit. Area itu
terdiri dari susunan bata merah, batu kali, gentong tanah liat, dan parit yang
tertata sedemikian rupa. Menunjukkan bahwa itu merupakan bekas hunian. Di sudut
struktur yang tinggal dasarnya itu terlihat bekas parit selebar setengah meter.
Dengan detail
petugas BPCB menyampaikan bahwa area itu merupakan bekas hunian masyarakat umum
di masa Majapahit. Meskipun nampak sudah sempurna, upaya konservasi di area itu
belum terlaksana 100%. Namun sudah cukup menggambarkan kehidupan masyarakat
umum masa itu. Mereka terlihat telah mengenal kehidupan modern. Setidaknya dari
gentong yang berada di puing mirip kamar mandi. Area tersebut adalah satu dari
sekian titik konservasi di sekitar museum yang ditandai dengan bangunan mirip
payung raksasa. Payung itu menaungi setidaknya dua titik konservasi. Ini belum
termasuk situs lain yang tersebar di Trowulan dan sekitarnya.
Setelah seharian
berkeliling saya menyadari bahwa untuk mengenal Majapahit, sehari benar-benar
waktu yang singkat. Peninggalannya ada di banyak titik. Bahkan saya
membayangkan setiap tanah yang saya pijak hari itu memendam puing-puing
peradaban pada masa kekuasaan raja dan ratu yang berbeda. Keyakinan ini muncul
setelah berkeliling di museum yang sesak oleh koleksi. Di sebuah ruangan saya
melihat gudang koleksi. Konon, barang-barang itu akan dikeluarkan secara
bergiliran dengan barang lain yang kini dipajang. Menurut pengelola museum, koleksi
itu belum seberapa. Masih banyak sekali titik konservasi yang belum selesai
dikerjakkan.
Nampaknya BPCB
kewalahan mengelola pekerjaan mengungkap peradaban yang maha besar ini. Mereka memiliki
kebijakan menarik. Menarik partisipasi warga dalam upaya konservasi sekaligus
memantau keberadaan koleksi. Mereka memberi hak kepemilikan benda bersejarah
oleh warga yang menemukan langsung. Syaratnya mereka harus mendaftarkan temuan
itu di BPCB, sehingga BPCB bisa mengawasi keberadaan benda-bena yang ditemukan
warga. Entah berapa banyak benda bersejarah
yang ditemukan warga dan kemudian didaftarkan ke BPCB. Namun setiap
benda sangat jelas mengabarkan peradaban bernilai tinggi di masa Majapahit.
Benda-benda
bersejarah peninggalan Majapahit tidak hanya lekat dengan simbol-sombol agama
Hindu dan Buda. Seperti terlihat lewat bangunan candi-candinya dan patung, namun
juga benda-benda khas agama Islam dan peradaban kerajaan di Asia lainnya. Kita
bisa lihat benda-benda keramik khas Cina. Atau prasasti dan keramik bertuliskan
aksara Arab.
Mengabarkan era Majapahit sebagai peradaban yang terbuka dan
berinteraksi dengan peradaban di berbagai belahan bumi lain. Ini sekaligus
menggambarkan bahwa kehidupan inklusif secara damai sudah berlangsung sejak era
Majalahit. Hindu, Buda, Muslim, dan Agama Pertapaan bisa hidup berdampingan.
Belum ada jejak sejarah melalui benda purbakala yang menunjukkan adanya konflik
berarti penyebab runtuhnya peradaban. Tidak pula dalam buku-buku yang disusun
para pakar sejarah. Apa yang terpapar justru interaksi anatar masyarakat dari
latar belakang berbeda.
Dari Majapahit,
kita tidak hanya mengenal kehebatan Patih Gadjah Mada yang berhasil menyatukan
Nusantara dan menginvasi kerjaan lain di Asia, tapi juga tata kelola
pemerintahan yang memungkinkan perbedaan latar belakang dijalani dalam harmoni.
Setidaknya belum terungkap dalam setiap temuan. Apalagi dalam kitab kuno yang
banyak menjadi rujukan sejarah Kerajaan Majapahit. Keruntuhan peradaban justru
bermula dari konflik keluarga. Menyisakkan rahasia yang masih banyak terpendam
dan berlapir-lapis.
Kunjungan terakhir
kami adalah Candi Brahu. Di candi paling megah ini kami –peserta ekspedisi dan
konservasi Majapahit yang diselenggarakan Komunitas Malam Museum—duduk di atas hamparan
rumput hijau. Dinaungi pepohonan yang menduhkan. Mengamati susunan batu merah
sambil mendengarkan pemaparan pemandu dari BPCB. Di kaki candi setinggi 22
meter ini, sesajen dihampar oleh warga tak bernama Dibandingkan Candi Bajang
Ratu, Candi Brahu lebih banyak menjadi kawasan kegiatan publik dan pagelaran.
Mungkin seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Warga hanya menggunakan
untuk beribadah di hari-hari besar. Namun di Candi Bajang Ratu, warga masih
kerap bersembahyang. Begitu menurut keterangan pemandu dari BPCB.
Menjelang ashar,
rombongan menutup kegiatan dengan berkunjung ke patung Budha Tidur atau
Sleeping Budha. Sepertinya, Vihara tempat Sleeping Budha berbaring megah itu
berada di perkampungan yang terbilang hotoregen. Setidaknya bisa dilihat dari
jarak antara Vihara dan Masjid yang cukup dekat. Saya berharap ini adalah
gambaran kehidupan sebenarnya. Saling berdampingan terlepas dari keyakinan
berbeda. Sebagaimana di era Majapahit.
Comments
Post a Comment