Diterjemahkan
dari bahasa Inggris berjudul sama yang diterbitkan di laman New Yorker
Seperti anak berbakti, dua kali dalam sebulan aku mengunjungi kedua orangtuaku di
Enugu, di flat kecil mereka yang sesak oleh perabotan dan berubah muram
saat petang. Pensiun telah membuat keduanya berubah. Di usia jelang 90, tubuh
mereka mengecil dan membungkuk dengan kulit seperti mahoni. Semakin hari,
mereka semakin mirip seolah kehidupan bersama selama bertahun-tahun telah
membuat mereka saling membaur satu sama lain. Bahkan, bau tubuh keduanya
mirip—aroma mentol dari botol hijau Vicks VapoRub berukuran kecil yang mereka
usapkan dengan hati-hati pada lubang hidung dan persendian yang pegal. Ketika
aku tiba, aku akan menemukan keduanya duduk di halaman memandangi jalanan atau
duduk di sofa ruang tamu menonton tayangan Animal Planet. Keduanya memiliki rasa
ingin tahu baru yang sederhana. Mereka akan terkagum menyaksikan kecerdikan
serigala, tertawa melihat kelihaian kera lalu saling melontarkan pertanyaan,
“Kau lihat itu? Ifukwa?”
Kini,
keduanya juga memiliki kadar kesabaran luar biasa untuk cerita-cerita yang
menakjubkan. Suatu hari, ibuku bercerita tentang seorang tetangga yang sakit di
Abba, kampung halamanku. Katanya dia memuntahkan seekor belalang yang masih hidup
dan menggelepar. Menurut ibuku, itu bukti bahwa saudaranya yang jahat telah
meracuni tetangga kami. “Seseorang mengirimkan kita foto belalangnya,” timpal
ayahku. Mereka selalu mendukung kisah masing-masing. Saat ayahku menceritakan
tentang pembantu remaja kepala polisi Okeke yang meninggal secara misterius,
dan desas-desus di kota menyebutkan bahwa Okeke telah membunuhnya dan
menggunakan bagian lever si korban untuk pesugihan, ibuku menambahi, “Katanya
Okeke juga menggunakan bagian hati si korban.”
Lima
belas tahun yang lalu, orangtuaku akan mencemooh cerita sejenis itu. Ibuku yang
merupakan seorang profesor bidang limu politik akan berkata “Omong kosong” dengan
sikap acuh. Sedang ayahku yang seorang profesor di bidang pendidikan, cukup
mendengus. Baginya, cerita semacam itu membuang-buang waktu. Aku bingung bagaimana
mereka telah menghilangkan sikap lama mereka dan berubah menjadi warga Nigeria yang
keranjingan anekdot tentang penyakit diabetes yang bisa disembuhkan dengan
meminum air suci.
Walaupun
begitu, aku tetap menghibur mereka dengan berusaha mendengarkan setiap kisah
yang mereka ceritakan. Tanpa sadar, keduanya kini memasuki tahap kekananakan di
usia senja mereka. Seiring berjalannya waktu, keduanya tumbuh secara lamban,
dan wajah mereka akan sumringah setiap kali melihatku. Bahkan, pertanyaan
mendesak keduanya – “Kapan kau akan memberi kami seorang cucu? Kapan kamu akan
mengenalkan seorang gadis kepada kami?” – sudah tidak lagi membuatku tegang.
Dalam setiap perjalanan pulang pada minggu sore, usai makan siang bersama, aku
selalu bertanya-tanya apakah itu akan menjadi hari terakhir aku melihat
keduanya hidup? Apakah aku akan menerima telepon darurat dari mereka untuk
segera datang sebelum jadwal kunjungan berikutnya? Pikiran-pikiran itu
membuatku tenggelam dalam kesedihan sampai aku kembali berkunjung ke Port
Harcourt. Aku tahu, seandainya aku berkeluarga atau bekerja untuk mendorong
peningkatan anggaran sekolah seperti yang dilakukan anak teman mereka, aku
tidak akan bisa mengunjungi mereka secara rutin.
Pada
kunjunganku di bulan November, orangtuaku bercerita tentang meningkatnya kasus
perampokan bersenjata di timur. Rupanya, para rampok juga perlu bersiap-siap untuk
menyambut natal. Ibuku menceritakan massa di Onistha berhasil menangkap
beberapa rampok dan menyiksa mereka sampai pakaian mereka sobek—ban tua
dilemparkan ke leher mereka layaknya kalung. Di tengah-tengah teriakan meminta
bensin dan korek api, polisi tiba, melemparkan tembakan ke udara untuk
membubarkan kerumunan dan membawa gerombolam rampok itu. Ibuku kemudian
berhenti, dan aku menantikan detail ajaib untuk membumbui cerita itu. Mungkin
saja setelah tiba di kantor polisi, si rampok berubah menjadi seekor burung
bangkai lalu terbang.
“Kau
tahu,” lanjut ibuku, “Salah satu dari rampok bersenjata itu, pemimpin komplotannya
adalah Raphael? Dulu dia pernah bekerja untuk kita. Sepertinya kamu tidak akan
mengingatnya.”
Aku
memandang ibuku. “Raphael?”
“Aku
tidak kaget dia menjadi seperti itu,” kata ayahku, “Sejak awal sudah
kelihatan.”
Pikiranku
yang tiba-tiba tenggalam di tengah-tengah cerita orangtuaku kembali bangun oleh
ingatan di masa lalu.
Ibuku
berkata lagi, “Mungkin kamu tidak akan mengingatnya. Pembantu di rumah ini
berkali-kali ganti. Saat itu kau masih kecil.”
Namun
aku mengingatnya. Tentu saja aku ingat Raphael.
***
Tidak
ada perubahan apapun di rumah saat Raphael mulai tinggal bersama kami. Raphael
terlihat seperti pembantu lainnya di rumah kami. Remaja berpenampilan biasa
dari desa sebelah. Hyginus, pembantu sebelum Raphael dipulangkan karena telah
menghina ibuku. Sebelum Hyginus ada John yang aku ingat karena dia tidak
diusir. Setelah memecahkan piring saat mencuci dan takut dimarahi oleh ibuku,
John berkemas dan kabur sebelum ibu pulang. Semua pembantu memperlakukanku
dengan semena-mena karena ketidaksukaan mereka pada ibuku. Mereka akan berkata,
sini makan aku tidak mau nyonya marah. Ibuku kerap meneriaki mereka karena
lamban, bodoh, dan agak tuli; bahkan, bunyi bel, jempol yang dia letakan di
gagang pintu, serta pekikannya terdengar seperti teriakan. Bisa dibayangkan bagaimana
sulitnya mengingat cara menggoreng telur berdasarkan selera, ayahku biasa
sedang ibuku harus menggunakan bawang. Atau ketika harus meletakkan kembali
boneka Rusia di rak yang sama setelah dibersihkan, atau selalu menyetrika
seragam sekolah dengan rapih.
Aku anak
semata wayang yang lahir bertahun-tahun setelah mereka menikah. “Saat aku
hamil, aku kira aku menopause,” kata ibuku suatu ketika. Saat itu aku berusia
delapan tahun dan tidak mengerti apa itu menopause. Ibu cenderung kasar seperti
ayahku. Keduanya tipikal orang-orang yang cepat menyingkirkan orang lain.
Mereka bertemu di Universitas Ibadan. Menikah tanpa restu keluarga—keluarga
ayahku menganggap ibuku terlalu berpendidikan, sedangkan keluarga ibuku
menginginkan menantu yang lebih kaya—dan menjalani kehidupan dengan persaingan
ketat tapi intim mengenai siapa yang lebih banyak menerbitkan tulisan, siapa
yang memenangkan badminton, dan siapa yang mengakhiri perdebatan. Di sore hari,
mereka kerap saling membacakan isi koran dan jurnal dengan suara keras, memilih
sambil berdiri daripada duduk, atau mondar-mandir seolah akan terlonjak dengan
ide baru yang muncul tiba-tiba. Keduanya suka minum Mateus rose – berwarna
pekat yang selalu tersedia di meja dengan mereka—dan selalu mengenakan kacamata
buram dengan noda kemerahan. Saat kecil, aku selalu khawatir kurang cepat
menanggapi setiap kali mereka bicara padaku.
Aku juga
khawatir karena aku tidak terlalu menyukai buku. Membaca tidak banyak
mempengaruhiku sebagaimana bagi orangtuaku. Membaca membuat mereka penasaran
atau menenggelamkan mereka sampai lupa waktu dan tidak menyadari kedatanganku
atau saat aku pergi. Aku membaca hanya untuk memuaskan mereka atau agar aku
bisa menjawab setiap pertanyaan tak terduga mereka– Bagaimana pandanganku
tentang Pip? Apakah Ezeulu sudah melakukan hal yang benar? Aku beberapa kali
merasakan kehadiranku di rumah kami seperti seorang penyusup. Di kamarku ada
rak dengan tumpukan buku yang sudah tidak muat di ruang belajar atau koridor,
dan mereka membuat keberadaanku seperti hanya untuk tinggal sementara. Seolah
aku berada di tempat yang tidak semestinya. Aku bisa merasakan kekecewaan mereka
dari tatapan keduanya saat aku berbicara tentang buku. Aku tahu apa yang aku
biacarakan tidak keliru tapi bagi mereka, pembicaraanku terlalu biasa dan tidak
memenuhi standar keorisinilan mereka. Mengikuti kegiatan bermain badminton
mereka adalah sebuah siksaan. Bagiku badminton sangat membosankan. Di mataku,
sebuah kok seperti proyek penemuan yang tak selesai. Siapapun yang menemukan
permainan badminton sepertinya berhenti di tengah jalan.
Aku
justru sangat menyukai Kung fu. Aku sering menonton “Enter the Dragon” sampai hafal
setiap adegan dan memimpikan aku bangun menjadi Bruce Lee. Aku suka menendang
dan memukul ke udara, kepada musuh khayalan yang telah membunuh keluarga
khayalanku. Aku akan menarik kasurku ke lantai dan berdiri di atas dua buku
tebal – biasanya buku Black Beauty dan The Water Babies – dan
melompat ke kasur sambil berteriak “Haaa!” seperti Bruce Lee. Suatu hari, saat
aku sedang berlatih, aku menoleh dan melihat Raphael berdiri di ambang pintu
menyaksikanku. Aku menunggunya menegurku ringan. Pagi itu, dia merapihkan
kasurku yang kini acak-acakan. Dia justru tersenyum dan menyentuh
dadanya lalu meletakkan jarinya di lidah, seperti sedang mencicipi darahnya
sendiri. Itu adalah adegan favoritku dalam film. Aku mamandangi Raphael dengan
ketakjuban yang menyenangkan. “Aku menonton filmnya di rumah tempatku bekerja
dulu,” kata Raphael. “Lihat ini.”
Dia lalu
berputar pelan, melompat dan menendang. Kakinya lurus dan jenjang. Seluruh
tubuhnya mengencang indah. Saat itu usiaku baru dua belas tahun, dan tidak
pernah mengenali diriku pada diri orang lain selain Raphael.
***
Aku dan
Raphael latihan di halaman belakang. Melompat dari beton tinggi dan mendarat di
atas rumput. Raphael memintaku menahan nafas dan menjaga agar kaki dan tanganku
tetap lurus. Raphael juga mengajariku cara bernafas. Latihanku di dalam kamar
yang sebelumnya terasa hanya main-main, kini menjadi nyata ketika latihan di
luar bersama Raphael. Membelah udara dengan kedua lenganku, kaki menapak rumput
lembut dan dinaungi langit dengan ruang tak terbatas yang harus aku taklukan. Aku
akan menjadi seorang pendekar bersabuk hitam suatu saat nanti. Di balik pintu
dapur rumah ada beranda yang cukup tinggi, dan aku ingin meloncati enam undakannya
dan mencoba tendangan udara. “Jangan,” kata Raphael. “Berandanya terlalu
tinggi.”
Pada
akhir pekan, saat aku tidak ikut pergi olahraga dengan orangtuaku, aku dan
Raphael menghabiskan waktu menonton Bruce Lee. Raphael akan berkata antusias,
“Lihat itu! Lihat itu!” Melalui kedua mata Raphael, aku menyaksikan sesuatu
yang baru; beberapa gerakan Bruce Lee yang awalnya terlihat sederhana menjadi
luar biasa saat Raphael berkata, “Lihat itu!” Raphael tahu cara menghargai
sesuatu. Dari sudut pandang Raphael, segala sesuatu dengan mudah menjadi amat
berharga. Dia sering memutar ulang adegan saat Bruce Lee menggunakan nunchakunya
dan menonton tanpa berkedip penuh takjub pada senjata mengkilat yang terbuat
dari logam dan kayu itu.
“Aku
berharap aku punya nunchaku,” kataku.
“Itu
sulit digunakan,” balas Raphael tegas, membuatku menyesal berharap memiliki
nunchaku
Tidak
lama setelah itu, saat aku pulang sekolah, Raphael berkata, “Kemarilah.” Dari
sebuah lemari, Raphael mengeluarkan nunchaku—dua batang kayu yang terbuat dari
gagang pel usang yang diampelas dan dihubungkan oleh logam spiral. Dia pasti
menghabiskan waktunya di sela-sela pekerjaan rumah untuk membuat nunchaku itu.
Dia menunjukkanku cara menggunakannya. Gerakannya kaku tidak seperti Bruce Lee.
Aku lantas mengambil nunchaku itu, mencoba mengayunkannya, alih-alih mengenai
dadaku. Raphael tertawa. “Kamu kira kamu bisa langsung menggunakannya?” kata
Raphael. “Kamu harus banyak latihan.”
Selama
belajar, aku melamunkan kayu nunchaku yang terasa halus di telapak tanganku.
Baru, sepulang sekolah, bersama Raphael, aku berlatih. Orangtuaku tidak
menyadari kedekatan kami. Yang mereka tahu, belakangan aku senang bermain.
Tentu saja tidak melihat perubahan apapun karena sebagian tugas Raphael berada
di luar ruangan; Mengiangi kebun dan menguras bak air. Suatu sore, usai
mencabuti dan membersihkan bulu ayam, Raphael menghentikan latihanku dan
berkata, “Ayo tanding!”. Kami pun berduel. Raphael dengan tangan kosong, sementara
aku mengayunkan senjata baruku. Dia mendorongku dengan keras. Aku membalas
dengan pukulan di lengannya. Raphael terkejut tapi juga terkesan. Tidak
menyangka jika aku bisa melawannya. Aku ayunkan nunchaku berkali-kali. Ia
menyingkir sembari pura-pura memukul dan menendang. Kamipun terengah-engah
sambil tertawa. Sampai hari ini, aku masih ingat dengan jelas celana pendek
yang ia kenakan sore itu. Memperlihatkan otot-otot liat di kakinya yang
terlihat seperti tambang.
***
Di akhir
pekan, aku biasa makan siang bersama orangtuaku. Aku selalu menghabiskan
makanan dengan cepat, berharap bisa segera pergi dan terbebas dari
pertanyaan-pertanyaan mereka. Suatu hari, Raphael menghidangkan ubi rebus dalam
piring yang dihiasi garnish hijau lalu pepaya dan nanas yang dipotong
dadu.
“Sayurannya
masih keras.” Kata ibuku. “Kamu pikir kami ini kambing?” Tambahnya sambil
melirik Raphael. “Kenapa itu matamu?”
Butuh
waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa ocehan ibuku bukan sekedar cercaan
penuh metafora – “ Apa itu yang menutupi hidungmu?” Pertanyaan yang akan ibu
lontarkan saat dia mencium aroma tak sedap yang tak tercium Raphael. Aku lalu melihat
mata Raphael yang merah. Dia menggumam matanya dihinggapi seekor serangga.
“Itu
seperti Apollo,” ujar ayahku.
Ibuku
berdiri dan memeriksa wajah Raphael. “Ah! Iya itu Apollo. Masuk dan diam di
kamarmu.”
Raphael
ragu-ragu seolah tidak ingin pergi sebelum membersihkan piring-piring bekas
makan.
“Cepat
pergi sebelum kamu menularkan penyakitkan ke kita semua,” kata ayahku.
Walau
terlihat kebingungan Raphael mulai menjauh dari meja. Ibuku lalu memanggilnya.
“Apa
sebelumnya kamu pernah kena Apollo?”
“Tidak
pernah Nyonya.”
“Itu
infeksi di konjungtiva. Bagian selaput yang menutup matamu,” katanya. Dalam bahasa
Igbo yang dia gunakan, istilah konjungtiva menjadi terdengar membahayakan.
“Kami akan belikan obatnya untukmu. Pakai itu tiga kali sehari dan tetap diam
di kamarmu. Jangan memasak sampai matamu sembuh.” Dia lantas berbalik padaku
dan berkata, “Okenwa, kamu tidak boleh dekat-dekat dia Apollo sangat menular”.
Dari cara bicaranya yang acuh tak acuh, sangat jelas dia tidak pernah
membayangkan aku punya alasan untuk mendekati Raphael.
Kedua
orangtuaku bergegas pergi ke apotek di kota dan pulang membawa sebotol obat
tetes mata. Ayahku, dengan gaya seseorang yang enggan pergi ke medan perang,
bergegas memberikannya pada Raphael di kamarnya yang terletak di bagian belakang
rumah. Pada sore hari, aku pergi dengan orangtuaku ke Obollo Road untuk membeli
makan malam; Saat kami pulang, aku merasa aneh karena tidak ada Raphael yang
biasa membukakan pintu, menutup gorden ruang tamu dan menyalakan setiap lampu.
Di dapur yang sepi, rumah kami terasa lengang. Sesaat setelah kedua orangtuaku
tenggelam dalam kesibukan masing-masing, aku segera pergi ke belakang dan
mengetuk pintu kamar Raphael. Pintunya terbuka, Raphael sedang berbaring
telentang di atas kasur yang menempel dinding. Dia berbalik dan terkejut,
membuatnya langsung duduk. Aku tidak pernah masuk ke kamar Raphael. Bohlam yang
menjuntai dari atap menciptakan bayangan redup di kamarnya.
“Ada
apa?” tanya Raphael.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin tahu keadaanmu.”
Dia
mengangkat bahu dan kembali berbaring di kasur. “Aku tidak tahu ini kenapa.
Jangan dekat-dekat.”
Namun
aku tetap mendekat.
“Aku
pernah kena Apollo tingkat 3,” kataku. “Jangan khawatir. Akan cepat sembuh.
Obat tetes matanya sudah kamu pakai?”
Dia mengangkat
bahu tanpa mengucapkan apapun. Botol tetes mata masih rapih terbungkus di
mejanya.
“Obatnya
sama sekali belum kamu pakai?”
“Belum.”
“Kenapa?”
Dia
menunduk. “Aku tidak tahu cara pakainya.”
Raphael
yang sangat lihai mengeluarkan isi perut kalkun dan mengangkat sekarung beras
tidak bisa meneteskan cairan obat ke matanya. Sesaat aku tercengan tapi
kemudian merasa konyol. Aku mendekat sambil memperhatikan sekeliling kamarnya
dan tersadar dengan keadaan kamarnya yang lengang – hanya sebuah kasur yang menempel
dinding, meja tinggi, dan kotak logam di satu sudut. Sepertinya berisi seluruh
barang miliknya.
“Sini.
Biar aku yang meneteskan obatnya ke matamu,” kataku sambil mengambil botol dan
memutar tutupnya.
“Jangan
dekat-dekat,” kata Raphael.
Percuma.
Aku sudah berada di dekatnya. Aku menunduk. Kedua mata Raphael mengerjap.
“Tarik
nafas seperti saat kung fu,” kataku.
Aku
pegang wajahnya sambil menarik kelopak mata bagian bawahnya pelan-pelan, aku lantas
meneteskan cairan obat. Mata sebelahnya aku tarik lebih kencang karena dia
menutupnya erat.
“Ndo.”
kataku. “Maaf.”
Dia
membuka matanya dan menatapku. Wajahnya bersinar penuh kekaguman. Aku tidak
pernah ditatap dalam kekaguman seperti itu. Membuatku membayangkan pelajaran science
dan jagung hijau mengkilau tersorot sinar matahari. Raphael memegang lenganku.
Aku lantas berbalik pergi.
“Aku
akan datang ke sini besok sebelum berangkat sekolah,” kataku.
Paginya
aku masuk ke kamar Raphael. Meneteskan obat dan langsung keluar naik ke mobil
ayahku dan berangkat sekolah.
Pada
hari ketiga, kamar Raphael menjadi semakin
akrab. Saat aku meneteskan obat di mata Raphael, aku menemukan hal-hal tentang
Raphael yang bisa kuamati dari dekat, seperti bulu-bulu baru berwarna gelap di
bagian atas bibirnya dan tompel putih di antara dagu dan lehernya. Aku duduk di
ujung kasurnya dan mengobrol tentang “Snake in the Monkeys Shadow.” Kami sudah
mendiskusikan film itu berkali-kali dan selalu membahas hal yang sama. Tapi,
saat dibahas di kamarnya yang sepi, perbincangan itu terasa seperti rahasia.
Suara kami sangat pelan dan hampir berbisik-bisik. Tubuh kami saling bersisian
mengalirkan kehangatan.
Dia lalu
berdiri memamerkan jurus ular dan diakhiri tawa sambil menggenggam tanganku.
Dia segera melepaskannya dan menjauh.
“Apollonya
sudah sembuh,” kata Raphael.
Matanya
memang sudah kembali bersih. Aku berharap dia tidak sembuh secepat itu.
***
Aku
bermimpi sedang berada di lapangan terbuka sambil berlatih kung fu dengan
Raphael dan Bruce Lee. Saat aku bangun, mataku sulit terbuka. Aku terus mengerjapkan
mataku sampai terbuka. Ada sensasi terbakar dan gatal di mataku. Setiap kali
aku berkedip, mataku mengeluarkan cairan kental yang menempel di bulu mataku.
Rasanya seperti butiran pasir panas. Aku takut ada sesuatu dimataku yang
meleleh.
Aku lalu
mendengar ibuku berteriak pada Raphael, “Kenapa kamu bawa penyakit ini ke
rumahku?” Seolah penyakit Apollo sengaja dibawa Raphel untuk ditularkan padaku.
Raphael diam. Dia selalu diam ketika ibuku meneriakinya. Ibuku berdiri di anak
tangga paling atas sementara Raphael ada di anak tangga bawah.
“Bagaimana
bisa dia menularkan Apollo dari kamarnya?,” tanya ayahku.
“Bukan
Raphael yang menularkannya. Aku rasa ini dari seseorang di kelasku,” kataku
pada ayah dan ibuku.
“Siapa
orangnya?” Seharusnya aku tahu ibuku ingin tahu siapa orang yang menularkannya.
Saat dia bertanya, tidak ada satu nama pun muncul di pikiranku.
“Siapa
orangnya?,” desak ibuku.
“Chibi
Obi,” kataku akhirnya, nama itu yang pertama kali muncul di kepalaku. Dia
adalah teman kelasku yang duduk persis di depanku dan tubuhnya beraroma seperti
baju usang.
“Apa
kamu pusing?” tanya ibuku
“Iya.”
Ayahku
memberiku Panadol sementara ibuku menelpon Dokter Igbokwe. Kedua orangtuaku
adalah orang kaku. Mereka berdiri di ambang pintu menyaksikanku meminum segelas
Milo yang dibuatkan ayahku. Aku menenggak habis minumanku berharap mereka tidak
menarik kursi ke kamarku seperti saat aku terkena malaria. Setiap bangun dengan
lidah terasa pahit, aku akan menemukan mereka duduk beberapa inci dariku sambil
membaca. Aku benar-benar ingin segera sembuh agar aku terbebas dari mereka.
Dokter
Igbokwe tiba dan langsung menyorotkan senter ke mataku. Aroma parfum yang dia
kenakan sangat kuat. Aroma yang menyerupai alkohol membuatku semakin mual. Aku
masih bisa menciumnya beberapa jam setelah dia pergi. Setelah Dokter Igbokwe
pergi, orangtuaku menyiapkan meja pasien di dekat kasurku – sebuah meja yang
dilapisi taplak. Di atasnya, mereka meletakkan Lacozade oranye, cairan glukosa,
dan jeruk segar yang sudah dikupas dalam wadah plastik. Mereka tidak menaruh kursi
di kamarku, tapi keduanya bergantian pulang lebih awal selama aku terkena Apollo.
Mereka juga bergantian meneteskan cairan ke mataku. Ayahku biasanya lebih kaku
dari ibuku, membuat cairannya mengalir ke pipiku. Mereka tidak tahu kalau aku bisa
meneteskan cairan ke mataku sendiri. Setiap kali mereka meneteskan cairan ke
mataku, aku mengingat tatapan di mata Raphael sore itu. Dan aku diliputi
kebahagiaan.
Orangtuaku
selalu menutup gorden agar kamarku tetap gelap. Aku bosan berbaring terus. Aku
ingin bertemu Raphael tapi ibuku melarang Raphael ke kamarku. Seolah
kedatangannya akan memperparah kondisiku. Aku berharap dia datang menjengukku.
Dia bisa saja berpura-pura mengganti seprai atau membawa bunga untuk pengharum
kamar mandi. Aku bertanya-tanya kenapa dia tidak ke kamarku. Bahkan dia tidak
meminta maaf padaku. Aku mencoba mendengarkan suaranya saat beraktifitas. Tapi
jarak dapur dari kamarku terlalu jauh. Suara Raphael saat berbicara dengan
ibuku sangat pelan.
Suatu
hari, saat aku keluar dari kamar mandi, aku mencoba menyelinap ke dapur. Tapi
ayahku berdiri di anak tangga.
“Kadu,
kamu baik-baik saja kan?” tanya ayahku.
“Aku
haus.”
“Nanti
aku ambilkan. Kamu ke kamar dan berbaring lagi ya.”
***
Akhirnya,
suatu hari kedua orangtuaku pergi saat aku sedang tidur. Aku terbangun menyadari
rumah dalam keadaan kosong. Aku langsung berlari turun ke dapur yang juga
kosong. Awalnya aku berpikir Raphael ada di kamarnya. Seharusnya dia tidak
boleh ke kamar selama jam kerja. Mungkin saja dia ke sana saat orangtuaku pergi.
Aku lantas pergi ke beranda. Aku mendengar suara Raphael sebelum melihatnya
berdiri di dekat bak air. Kakinya menggores-gores tanah sembari mengobrol
dengan Josephine, pembantu tetangga kami, Profesor Nwosu. Profesor Nwosu kerap
mengirimkan telur dari peternakannya dan tidak pernah membiarkan orangtuaku
membayar. Apa Josephine sedang mengantar telur? Josephine berpostur tinggi dan
montok. Dia terlihat seperti seseorang yang sudah pamit tapi enggan beranjak.
Saat berdiri di samping Josephine, Raphael tampak berbeda – dia membungkuk
dengan kaki yang tidak berhenti bergerak. Dia tampak lebih pemalu. Sementara
Josephine berbicara dengan percaya diri seolah dia bisa melihat segala hal
tentang Raphael. Pemandangan ini mengaburkan alasan awalku mencari Raphael.
“Raphael!”
aku memanggilnya berteriak.
Dia
berbalik melihatku, “Oh. Okenwa. Memangnya kamu dibolehkan keluar dari
kamarmu?”
Dia
berbicara padaku seolah-olah aku anak kecil, seolah kami tidak pernah duduk
bersama di kamarnya yang redup.
“Aku
lapar! Mana makananku?” Itu adalah hal pertama yang terpikirkan. Agar terdengar
angkuh aku meneriakannya dengan nyaring.
Wajah
Josephine mengkerut seperti sedang menahan tawa. Raphael mengatakan sesuatu
padanya yang tidak bisa aku dengar. Sikap itu terlihat seperti sebuah
penghianatan. Saat itu, orangtuaku tiba dan memarkir mobil di halaman.
Josephine dan Raphael langsung bergegas. Jospehine pergi sementara Raphael
menghampiriku. Ada noda berwarna jingga seperti sabun di bagian depan kaosnya.
Jika saja orangtuaku tidak pulang, Raphael pasti tetap berdiri di bawah bak
sambil terus mengobrol. Kedatanganku tidak akan membuat Rapahel beranjak.
“Kamu
mau makan apa?” tanya Raphael.
“Kamu
tidak menjengukku.”
“Kamu
kan tahu, Nyonya melarangku mendekatimu.”
Kenapa
dia membuatnya seperti sesuatu yang biasa saja. Orangtuaku juga melarangku
mendekatinya, tapi aku tetap pergi dan meneteskan cairan obat ke matanya.
“Apollo
ini bagaimanapun ditularkan darimu,” kataku.
“Maaf.”
Katanya sambil lalu. Pikirannya berada di tempat lain.
Aku bisa
mendengar suara ibuku. Saat itu aku marah karena mereka pulang. Waktuku bersama
Raphael telah habis dan ada sensasi aneh seperti sesuatu yang retak.
“Kamu
mau pisang atau ubi?,” tanya Raphael. Pertanyaannya tidak berusaha
menentramkanku seolah tidak ada hal serius yang baru saja terjadi. Mataku terasa
panas saat dia menaiki tangga. Aku bergeser menjauh darinya ke ujung beranda.
Gerakanku terlalu cepat. Aku bergoyang dan tergelincir. Aku jatuh bertumpu pada
kedua kaki dan tanganku. Aku merasakan air mataku bercucuran. Aku malu dan enggan
bergerak.
Kedua
orangtuaku datang menghampiri.
“Okenwa!”
teriak ayahku.
Masih
dengan posisi sama dengan batu di bawah lututku aku berkata, “Raphael
mendorongku.”
“What?”
kedua orangtuaku berteriak bersamaan dalam bahasa Inggris.
Saat itu
aku punya banyak kesempatan, sebelum ayahku berbalik menghadap Raphael, sebelum
ibuku melayangkan tangannya hendak menampar Raphael dan menyuruhnya berkemas
pergi. Aku punya kesempatan berbicara dan memecah kediamanku. Aku seharusnya
bilang kejadian itu kecelakaan belaka. Aku bisa mengakui kebohonganku dan
membiarkan orangtuaku berandai-andai apa yang terjadi antara aku dan Raphael.
Tulisan asli di : https://www.newyorker.com/magazine/2015/04/13/apollo
Comments
Post a Comment