Hidup Mati di Negeri Cincin Api, Ahmad Arif




Indonesia telah lama dikenal sebagai zambrud khatulistiwa. Pulau-pulaunya menyimpan keindahan dan kesuburan yang memanjakan. Tidak hanya bagi penduduk, tapi juga para penjajah yang datang karena rempah melimpah di banyak pulau di Indonesia. Namun di balik keindahan itu, deretan pulau nusantara tumbuh di atas pertemuan lempengan berbagai benua yang terus bergerak menciptakan gempa dan tsunami. Serta dilingkari 400 gunung api yang 127 diantaranya dalam keadaan aktif dan meletus secara rutin.

Topik ini berkali-kali ditekankan oleh Ahmad Arif dalam buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api. Kekayaan alam Indonesia telah melenakan dan membuat penduduknya lupa pada geliat alamnya. Gunung api, gempa, dan tsunami menjadi tiga bencana alam yang rutin terjadi, tapi dalam waktu yang sama, kerap diabaikan. Siklusnya yang panjang atau kedatangannya yang tiba-tiba selalu membuat masyakat lupa. Sekalipun mereka yang terus mengalaminya. Ahmad Arif mencatat, perhatian serius pemerintah pada bencana alam baru keluar setelah tsunami menerjang Aceh pada 2004 lalu. Menjadi salah satu bencana paling dahsyat dalam beberapa dekade ke belakang. Bencana ini melahirkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk sigap merespon bencana.

Namun bencana tsunami nyatanya bukan barang baru. Secara runut dan detail, Arif yang melibatkan banyak pakar dalam ekspedisinya menuliskan bahwa bencana tsunami yang biasanya didahului gempa, sudah sering terjadi pada beberapa abad ke belakang. Di Simeleu, tsunami pernah terjadi tahun 1907. Kejadian ini melahirkan pengetahuan lokal pada masyarakatnya melalui cerita yang disampaikan turun temurun tentang smong. Ombak besar yang menyapu ke daratan yang belakangan baru mereka kenal sebagai tsunami. Pengetahuan ini telah menyelamatkan sebagian besar warga Simeleu saat tsunami 2004.


Catatan-catatan mengenai potensi bencana dan segala hal yang berkaitan erat dengannya seperti potensi alam, budaya, dan relasi warga Indonesia dengan alam sekitarnya dibahas Arif dalam 7 bab. Di bab pembuka, Arif mengantarkan kita pada bentang alam Indonesia yang menjadi wilayah ekspedisi dari Aceh hingga Sulawesi. Pulau-pulau yang dipenuhi gunung api sekaligus jalur lempeng yang sewaktu-waktu menggeliat mencipta gempa dan tsunami. Kita juga dibawa pada bencana-bencana di Indonesia masa lalu yang mengubah dunia.  Mempengaruhi perubahan cuaca ekstrem di beberapa daratan. Dari Asia hingga Eropa. Menginspirasi lahirnya buku Frankenstein juga menciptakan kelaparan di banyak tempat.

Bagian mengesankan dari buku ini adalah penelusuran Arif mengenai pengetahuan lokal dan bagaimana moyang kita telah menciptakan inovasi agar bisa hidup berdampingan dengan alam. Rumah-rumah kayu di Sumatera yang berada di jalur gempa, dibuat sangat adaptif pada goyangan gempa. Rumah arsitektur lama yang kini semakin jarang dan digantikan bangunan bata, dibangun bukan hanya untuk menghindar dari binatang buas. Tapi juga untuk menjaga agar tahan gempa. Potensi bencana gempa juga telah disampaikan oleh leluhur dalam bentuk catatan kuno. Sumber pengetahuan yang kini lebih banyak menjadi pajangan di museum tanpa sempat kita baca ini sesungguhnya menyimpan catatan bencana masa lalu. Di Seram dan Ende, budaya tutur dalam bentuk hikayat membuat warga awas pada bahaya tsunami. Mereka tahu setelah gempa besar, tsunami bisa terjadi. Mereka tahu mereka harus lari ke tanah tinggi untuk mengantisipasi ombak besar.

Bab ketiga yang diberi judul Warga Kerajaan Gunung Api menyajikan keintiman hubungan manusia dengan gunung. Menciptakan kebudayaan erat. Dari Jawa hingga Bali, masyarakat menganggap gunung adalah makhluk hidup dan tempat bersemayam roh leluhur. Mereka tetap hidup di lerengnya meskipun terancam letusan. Bahkan, Arif mencatat beberapa sosok tidak hanya menikmati hidup dari alamnya tapi juga rela mati dalam ‘pelukan’ gunung. Salah satunya Mbah Maridjan yang meninggal saat Merapi erupsi tahun 2010. Kerelaan mati menandakan eratnya hubungan manusia dan alam sekitarnya.

Di bab terakhir, dalam epilog panjang, Arif menyajikan ironi sekaligus harapan hidup harmonis dengan alam yang terus bergejolak ini. Arif memaparkan keterputusan pengetahuan akibat banyak hal, salah satunya modernisasi menjebak yang awalnya dikenalkan Belanda. Misalnya melalui bangunan berbahan bata yang sejatinya tidak cocok untuk kawasan jalur gempa. Ini melahirkan gaya hidup berisiko. Terus membangun rumah bata yang runtuh dalam setiap bencana. Hal yang sampai hari ini masih dilakukan masyarakat di Lembang. Meskipun ini ironis, Indonesia perlahan maju ke depan dalam kesiapsiagaan bencana.


Melalui buku ini, Ahmad Arif mengenalkan pembaca pada Indonesia dalam wajah paling alaminya. Tanah Indonesia dengan segala kehidupan di permukaan dan misteri di kedalamannya. Saya terkesan pada bagaimana Ahmad Arif memaparkan segala hal di setiap bab dengan detail dan menyinggung setiap sisi. Misalnya saat Ahmad Arif menyinggung soal eksploitasi alam yang terus masif di berbagai sudut negeri atau soal manusia modern dan DNAnya yang menjadi jejak penelusuran migrasi dari Afrika ke seluruh benua.

Buku ini semakin layak dibaca karena kekayaan data yang didapat Ahmad Arif dari banyak sekali dokumen dan para ahli yang terlibat dalam ekspedisi. Mereka datang dari disiplin ilmu beragam seperti sejarawan, geolog, filolog, arkeolog, dan terutama masyarakat lokal yang secara turun temurun hidup di daerah dengan sejarah bencana panjang. Ahmad Arif juga menelusuri dokumen sejarah yang detail dari berbagai abad, salah satunya dokumen dari ahli botani Alfred Russel Wallace yang sejaman dengan Charles Darwin. Kekayaan data yang bersumber dari berbagai catatan dan para ahli dari disiplin ilmu beragam menjadikan buku ini sebagai catatan penting untuk membuka tabir pengetahuan tentang nusantara yang lebih menyeluruh.

Isu-isu itu sampai hari ini terus ditulis oleh Ahmad Arif dalam berbagai tulisan yang kerap muncul di harian Kompas. Media tempat Ahmad Arif bekerja. Salah satu topik menarik yang sedang diangkat oleh Ahmad Arif belakangan adalah soal keberagaman pangan lokal dan ketergerusannya oleh serbuan produk impor dan penyeragaman pangan di seluruh Indonesia. 

---
Judul : Ekspedisi Kompas, Hidup Mati di Negeri Cincin Api
Penulis: Ahmad Arif
Penerbit: Kompas, 2013 



Comments