Saat
ketubanku pecah minggu pagi itu, hujan turun dengan pelan. Bagiku yang terbiasa
dengan hujan lebat di Lagos, bunyi rintik pagi itu menenangkanku dan meliputiku
dengan kedamaian. Suamiku, Omoregie sedang bekerja, tetangga kamilah yang
membawaku ke rumah sakit. Pakaianku basah kuyup, tapi harapan menyeruak di
dadaku. Ini kelahiran anak pertamaku.
Suster
Chioma yang bertugas hari itu. Dia adalah tipe orang dengan ekspresi wajah kaku
yang gemar melemparkan lelucon sarkas. Saat aku mengeluh sakit punggung dalam
pemeriksaan terakhirku, dia menjawab dengan ketus, “Apa kamu berpikir tentang sakit
punggung saat kamu asyik ‘menikmatinya’?”
Di ruang
bersalin, dia memeriksa lubang serviksu dan mengatakan persalinan masih lama.
Dia memintaku agar berjalan naik turun bangsal.
“Kamu
pasti bahagia anak pertamamu berjenis kelamin laki-laki,” ujar suster Chioma.
Aku mengangkat bahu. “Yang penting bayinya sehat.”
“Aku
tahu, seharusnya kamu menunggu sampai anaknya lahir untuk memberinya nama, tapi
aku yakin kamu sudah memikirkannya dari awal,” katanya lagi.
“Aku
akan menamainya Olikoye.”
“Oh.”
Dia berhenti sejenak. “Aku baru tahu suamimu orang Yoruba.”
“Dia
bukan orang Yoruba. Kami berdua berasal dari Bini.”
“Tapi
Olikoye nama orang dari Yoruba.”
“Memang.”
“Kenapa?”
tanya Chioma. Kontraksiku masih berlangsung pelan sekali. Aku meminta suster
Chioma untuk duduk dan mulai menceritakan padanya alasanku memilih nama
Olikoye.
...
Anak
pertama ayahku adalah seorang perempuan. Kata ayah, tangisan bayi itu sangat
kencang dan dia menggenggam jari ayahku dengan kuat. Ayahku menduga kelak bayi
itu akan menjadi gadis tangguh. Namun bayi itu meninggal saat berusia empat
bulan. Anak keduanya, laki-laki, bahkan meninggal sebelum mencapai usia empat
bulan. Kerabat ayahku mengatai ibuku seorang penyihir yang memakan anaknya
sendiri. Ibuku tega menukar hati anaknya yang tidak berdosa agar dia bisa hidup
lebih lama. Nyatanya, saat itu, bayi-bayi lainnya di kampung kami, di Edo juga
meninggal. Bayi-bayi meninggal akibat air yang kotor dan penglihatan yang
lemah. Orang-orang mengatakan diare sebagai kutukan dari tuhan. Umat Kritern
berdo’a di gereja. Umat Islam berdo’a di masjid. Para tetua melaksanakan
upacara pengorbanan. Semuanya tidak mempan. Bayi-bayi tetap meninggal. Tubuh
kecil mereka terbungkus kain dan dikuburkan. Kelahiran mereka terasa sia-sia.
Saat itu
tahun 1985. Ayahku bekerja sebagai supir di Kementerian Kesehatan Nigeria.
Posisi pekerjaan paling rendah diantara banyak pekerjaan lainnya di kementerian.
Suatu hari dia bertugas menjemput pejabat yang sedang berkunjung dari bandara
dan mengantarkannya ke sebuah hotel. Selesai mengantar, dia melihat amplop
tebal berisi uang tergeletak di kursi belakang. Dia pun bergegas menyerahkan
amplop itu pada pejabat itu yang bahagia – juga kaget—amplopnya kembali. Pejabat
itu menceritakan kejadian tersebut pada menteri kesehatan baru. Dua hari
kemudian, menteri baru itu memanggil ayahku. “Aku ingin kamu menjadi supir pribadiku,”
katanya. “Aku menghargai sebuah kejujuran.”
Nama
menteri kesehatan baru itu adalah Dr. Olikoye Ransome-Kuti. Dia memiliki mata
sayu yang seolah datang dari masa lalu ketika sebuah integritas dijalankan dengan ringan. Kesederhanaannya mengejutkan ayahku. Dia bukan tipe orang yang tertarik
dengan pesta pora khas orang-orang besar hingga larut malam. Dia tidak suka
minum-minum. Ayahku tidak perlu menjaga rahasia apapun tentangnya. Setiap pagi Menteri
Olikoye rutin sarapan dengan keluarganya, dan biasa berjalan-jalan dengan istrinya
di sore hari. Dia juga rutin bermain tenis pada akhir pekan bersama
anak-anaknya. Dia selalu mendengarkan pembicaraan dengan penuh perhatian.
Awalnya, pandangan mata sayunya yang setengah tertutup membuat ayahku tidak
nyaman.
Menteri
Olikoye bertanya pada ayahku tentang keluarganya. Ayahku mengatakan padanya semua
keluarganya baik-baik saja. Menteri Olikoye kemudian bertanya tentang jumlah
anak ayahku. Ayahku berkata belum punya, tapi menambahkan istrinya sedang hamil
dan akan melahirkan dalam beberapa minggu (Saat itu, ibu sedang mengandungku). Menteri
Olikoye lalu melontarkan pertanyaan yang mengejutkan ayahku. “Berapa jumlah
anakmu yang sudah meninggal?”.
Ayahhku
menjawab dengan gagap, “Dua anak, Pak. Kita terus berdo’a semoga bayi kami ini
tidak meninggal.” Menteri Olikoye berkata berdo’a adalah perbuatan baik, tapi
ada hal lain yang harus dilakukan. “Anak-anak kita meninggal karena penyakit
ringan dan itu harus berhenti. Aku ingin kamu mengantarkanku ke desamu. Aku
sudah memulai sebuah program di Lagos, tapi aku ingin memulai di beberapa
tempat lainnya di negara ini. Kita akan berkunjung ke desamu minggu depan.”
Perlu beberapa saat untuk ayahku sampai dia bisa menjawab, “Baik, Pak.”
***
Di desa
ayahku, Menteri Olikoye berkeliling kampung dengan beberapa asistennya. Dia
mengunjungi orang-orang. Menanyai mereka dan mendengarkan keluhan mereka dengan
saksama. Kepada para perempuan, dia mengajarkan cara mencampurkan gula dengan
garam, dan air bersih untuk diberikan pada anak yang terserang diare. Dia
meminta mereka untuk mencuci tangan dengan sabun dan mengatakan pusat kesehatan
akan dibuka dalam sebulan. Setelah dibuka, setiap bayi akan menerima vaksin.
Dia
menunjukkan beberapa foto bayi dari Lagos yang memiliki mata berbinar kepada
warga. Dia mengatakan imunisasi ibarat hadiah kecil untuk para bayi. Orang-orang
bersorak dan bertepuk tangan. Di mata warga desa, ayahku adalah seorang
bintang. Sebelum Menteri Olikoye, tidak ada satu menteri pun yang pernah
mengunjungi desaku.
Bahkan,
siapa yang tahu desa kami ada dalam peta? Namun ayahku terus menerus mengatakan
pada warga diirinya tidak melakukan apapun. Menteri Olikoye sendiri yang
memaksa untuk datang. Ayahku menceritakan kisah itu beberapa tahun setelahnya.
Di matanya aku melihat banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Menteri
Olikoye memperlakukan kita seperti manusia,” ujarnya. “Benar-benar seperti
manusia.”
***
Hanya
butuh waktu sekejap dengan mulut bayi yang terbuka, setetes cairan kental, lengan
bayi dan jarum suntik kecil, untuk menyelamatkan hidup bayi-bayi di desaku dan
beberapa desa sekitar kami yang lahir pada tahun itu. Termasuk di Calabar,
Enugu, dan Kaduna. Hanya itu yang berhasil menyelamatkan hidupku. Aku lahir
pada tahun 1986. Aku selalu mencoba membayangkan saat-saat ketika aku
diimunisasi. Aku membayangkan tubuh kecilku bergelung dalam pangkuan ibuku di
sebuah klinik yang baru saja dibangun Menteri Olikoye. Para ibu memadati
ruangan untuk menerima layanan yang digratiskan. Di sudut klinik terdapat unit
perencanaan keluarga. Di dalamnya seorang perawat berbicara di hadapan kelompok
perempuan. Dia sesekali melontarkan lelucon yang mengundang tawa. Ibuku salah
satu peserta yang berada di ruangan itu.
Beberapa
tahun setelah aku lahir, ibu memberitahuku bahwa suntikan kecil di lenganku memang menyelamatkan hidupku, tapi alasan aku bisa bersekolah adalah berkat program
perencanaan keluarga yang diikutinya. Adik perempuanku lahir dua tahun
setelahku dan adik laki-lakiku lahir dua tahun setelahnya. Ibuku masih ingat
kata-kata yang disampaikan perawat di unit perencanaan keluarga, “Sesuaikan
jumlah anak dengan kemampuanmu membesarkannya. Kalau tidak, kamu tidak akan
bisa membesarkan satu anak pun dengan baik.”
***
Berkat
Menteri Olikoye, ayahku bisa berkeliling dan mengenal Nigeria dengan baik. Menteri
Olikoye kerap bepergian ke desa-desa dan kampung-kampung terpencil. Ayahku menyupirinya,
menyusuri jalanan mulus bagian utara dan jalanan bergelombang di bagian
selatan. Ayahku mengikuti Menteri Olikoye mengunjungi beberapa klinik. Dia memperhatikan
cara Menteri Olikoye berbicara, menggerakkan tangan, memaparkan sesuatu dan
setiap kali dia memotong pita peresmian pusat kesehatan.
Kemanapun
mereka pergi, orang-orang mengikuti Menteri Olikoye. Beberapa orang hanya ingin
menyentuh dan berjabat tangan dengannya. Sementara lainnya ingin memberikan bingkisan.
“Tidak. Tidak,” kata Menteri Olikoye pada ayahku saat melihatnya membawa ubi,
pisang, dan ayam. “Kembalikan pada mereka. Katakan pada mereka, aku ingin
mereka sendiri yang memakannya.”
***
Aku
pertama kali bertemu Menteri Olikoye saat berusia enam tahun. Saat itu aku
kelas satu dan ayahku menceritakan prestasiku sebagai juara kelas pada Menteri
Olikoye. Menteri Olikoye meminta ayah mengajakku ke rumahnya. Aku diminta
menunggu di dapur. Saat dipanggil ke ruang tamu, aku merasa canggung ketika
merasakan karpet lembut dan barang-barang baru beraroma harum dalam ruangan.
Dia muncul bersama istrinya. Keduanya tersenyum dan memberikanku sebuah buku. A
Childs Illustrated Book About The Body.
“Terima
kasih, Tuan. Terima kasih, Nyonya,” kataku, menggenggam buku itu lebih erat
dibanding benda lainnya sepanjang hidupku.
***
Suster
Chioma meremas tanganku.
“Jadi kamu
sudah mengenal Menteri Olikoye dengan baik,” ujarnya. “Aku berhasil menyelesaikan
pendidikan perawatku satu tahun setelah dia ditunjuk sebagai menteri.”
Kali ini
dia berkata dengan nada berbeda. Lebih datar sekaligus emosional. Aku melihat
wajah kaku dan keras suster Chioma kini dibasahi air mata.
“Berkat
Olikoye Ransome-Kuti, banyak orang di Nigeria bisa hidup,” katanya pelan. Aku
tahu dia punya ceritanya sendiri tentang Menteri Olikoye. Mungkin dia akan
menceritakannya nanti, atau tidak sama sekali. Namun aku sekarang bahagia,
karena kami mengalami hal yang sama.
“Dia menteri
kesehatan terbaik yang pernah ada di negara ini,” katanya sambil berdiri dan
menghapus air matanya. Kontraksiku sudah terasa semakin cepat. Suster Chioma
berkata mungkin sudah saatnya untuk mulai persalinan. Dia berdiri dan memanggil
dokter.
Di luar
hujan masih terus menetes pelan saat Olikoye lahir.
___
Cerpen ini diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris dengan judul sama yang diterbitkan di : https://medium.com/matter/olikoye-b027d7c0a680
___
Cerpen ini diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris dengan judul sama yang diterbitkan di : https://medium.com/matter/olikoye-b027d7c0a680
Comments
Post a Comment