Tidak
ada yang lebih rumit daripada perang batin manusia. Bayangkan, apa yang terjadi
dalam batin tidak bisa dengan mudah diraba secara kasat mata, kecuali oleh orang-orang
peka. Apa yang terjadi dalam batin adalah petualangan sunyi sekaligus riuh. Dalam
Burung-burung Manyar, Romo Mangun menyampaikan gejolak batin ini dalam
periode panjang yang melelahkan, tidak hanya bagi tokoh utamanya, tapi juga bagi
pembaca.
Setadewa
sejak awal adalah pribadi rumit. Dia lahir dari orang tua yang memiliki latar
belakang berbeda. Ayah keturunan bangsawan di Solo, sedang ibu seorang Indo.
Ayah menolak secara halus tradisi kekeratonan dan memilih menjadi anak buah
pemerintah Hindia Belanda. Ibunya yang Indo justru amat mencintai sisi
Indonesianya hingga ke tulang sumsum. Dia jauh lebih percaya pada klenik
dibanding suaminya yang lahir dan tumbuh dewasa di lingkungan keraton. Latar
belakang ini membuat Setadewa memiliki pengalaman hidup unik dan membuatnya
harus melewati ‘petualangan’ hidup panjang.
Masa
hidupnya yang menyenangkan di Magelang berubah drastis ketika Jepang menduduki
Indonesia. Ini masa pemantik gejolak batin berkepanjangan yang dihadapi
Setadewa. Pertama, ayahnya yang pro Hindia Belanda ditahan oleh Jepang,
kemudian disusul ibunya yang dijadikan gundik sebagai jaminan keselamatan sang
suami. Memasuki masa revolusi, dendam Setadewa pada Jepang begitu mendalam.
Membuatnya mengabdi di KNIL dan melawan bangsanya sendiri yang dia anggap belum
siap merdeka dan dalam pandangannya, dengan culas tunduk pada Jepang (musuh
besar Setadewa) untuk meraih kemerdekaan. Dalam masa gamang dan ragu atas
pilihannya melawan Indonesia, Setadewa kemudian memutuskan kuliah di Amerika
pasca merdeka. Banting stir menjadi ahli matematika dan bekerja pada perusahaan
minyak internasional. Keputusan-keputusan terakhir ini membawanya kembali ke
Indonesia dan mulai menemukan jalan untuk berdamai dengan dirinya.
Perjalanan
hidup Setadewa dalam buku amatlah panjang. Dari periode Hindia Belanda,
memasuki masa Jepang, era revolusi, hingga pasca merdeka. Saat Soekarno tak
lagi memimpin Negara. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya menyelami setiap
gejolak emosi yang dialami si tokoh. Marah, benci, dendam, kebingungan, ragu,
kehilangan identitas diri. Semua campur aduk dalam setiap judul, hingga
penutupnya yang penuh duka tapi juga menjadi penyempurna perjalanan mencari
kedamaian diri. Gejolak-gejolak batin Setadewa semakin memuncak ketika
bersinggungan dengan perasaan cinta mendalam pada teman kecilnya, Larasati yang
pro merdeka.
Kepandaian
Romo Mangun membungkus semuanya mungkin tidak perlu diragukan. Dalam kapasitas
keilmuannya, Romo Mangun memiliki corak bahasa sendiri yang kadang membuat
kening berkerut dan membutuhkan sedikit waktu untuk mencerna. Model kalimat
bertingkat dengan ungkapan-ungkapan yang relevan dengan zamannya bisa dengan
mudah ditemui di setiap judul. Seringkali itu merupakan bahasa lisan si tokoh
dan sengaja dibuat keliru. Membuat buku ini makin dekat dengan kehidupan
sehari-hari, seperti ungkapan bahasa asing yang kerap keliru antara pengucapan
dan penulisan sebagaimana biasa kita temui di manapun di Indonesia. Dalam
konteks sekarang misalnya, fried chicken jadi pret chicken, atau mizone jadi mijon.
Kata-kata sehari-hari yang lebih banyak digunakan sesuai dengan bunyinya, bukan
tulisan dalam bahasa aslinya. Ini menjadi keunikan sendiri dalam buku Burung-burung
Manyar.
Satu
hal paling berbeda dari buku ini mungkin adalah sudut pandang si narator.
Buku-buku bertemakan sejarah Indonesia seperti Tetralogi Buru atau Student
Hidjo, misalnya. Tokoh utama kisah dalam buku-buku itu adalah seorang Indonesia
atau Indonesiais (pada masa itu istilah yang lebih akrab mungkin pribumi dan
simpatisan) yang tentu berjuang untuk
lepas dari penjajah.
Setadewa
kebalikannya. Sejak awal, dia pro Belanda. Bermula dari ayahnya yang memilih
menjadi Letnan di KNIL sampai masa revolusi menuju merdeka. Setadewa hadir
sebagai protagonis dari sudut berbeda daripada yang lain. Bagi pembaca
buku-buku berlatar era sebelum merdeka, Setadewa memberi sudut pandang unik
dalam melihat setiap periode bangsa Indonesia. Keengganan membiarkan Indonesia
merdeka dalam kacamata Setadewa bukanlah perkara kolonialisme dan konflik
kawasan antar kekuatan dunia. Dia lebih melihat pada kehidupan masyarakat yang
dianggapnya masih seperti bayi. Masih harus dibimbing sebelum benar-benar bisa
mandiri. Ini mungkin sudut pandang paling alami daripada sudut-sudut lain yang
berkecimpung dalam perundingan menuju Indonesia merdeka seutuhnya.
[Judul: Burung-burung Manyar | Y.B. Mangunwijaya | Kompas, 2014]
Comments
Post a Comment