Perpaduan Hindu dan Islam di Kampung Pulo

Rumah adat di Kampung Pulo

Jum'at siang yang sepi itu (21/12/2018), saya dan keponakan akhirnya berkunjung juga ke Kampung Pulo setelah diundur berkali-kali. Dari rumah, kampung ini bisa dicapai dalam 20 menit perjalanan menggunakan motor kecepatan sedang. Karena terletak di sebuah pulau yang dikelilingi danau air tawar, setiap pengunjung harus menumpang rakit untuk bisa sampai di Kampung Pulo.
Di banyak literatur, kampung adat yang dihuni oleh 6 KK ini merupakan keturunan pemuka agam Islam pertama di Cangkuang. Arif Muhammad. Ini yang kemudian baru saya insafi dalam kunjungan kali ini. Bukan sekedar wisata asyik-asyik menyaksikan alam dan kehidupan di Kampung Pulo, tapi mengamatinya lebih serius, untuk belajar.
Seminggu sebelum berkunjung ke sini, saya mengikuti kelas sejarah ke komplek percandian Dieng, Banjarnegara. Dalam forum itu saya mendapat keterangan bahwa candi-candi di Dieng didirikan satu periode dengan candi di Cangkuang. Alasan ini menjadi misi utama saya. Mengamati Candi Cangkuang yang 'bersaudara' dengan candi di Dieng.
Candi cangkuang berada di puncak bukit Kampung Pulo di Kecamatan Leles, Garut. Candi ini dikelilingi berbagai pohon berdaun rimbun dan berusia tua. Setidaknya bisa diamati dari lingkar pohon dan akarnya yang lebar mencengkram tanah sekitar pulau. Duduk-duduk lama di sini sangat menyenangkan karena udara sejuk tidak hanya keluar dari pepohonan, tapi juga menguar dari air danau sekitar pulau.
Dalam pengamatan saya, candi Hindu di Cangkuang memang memiliki karakter struktur yang mirip dengan candi-candi di Dieng. Ukuran bangunannya lebih kecil dari Candi Prambanan. Menurut banyak catatan, kekhasan candi pada abad ke 8 dan ke 9 adalah struktur sederhana tanpa relief, sebagaimana yang bisa dilihat di Candi Cangkuang dan candi-candi di Dieng. Berdasarkan keterangan Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten--yang menjadi pengelola resmi dan dicantumkan dalam plang dekat candi--, Candi Cangkuang didirikan pada abad ke 8. Arca Siwa yang dulu menjadi petunjuk awal keberadaan candi di Kampung Pulo kini diletakkan di relung candi dan diamankan teralis besi dyang ipasang di pintu masuk relung candi.
Berbeda dengan di Dieng, di mana candi bisa ditemukan dengan mudah di berbagai sudut, di Garut, candi di Cangkuang merupakan satu-satunya candi peninggalan Hindu. Tidak jelas kerajaan mana yang mendirikan candi ini. Apakah Tarumanegara, Galuh, atau Sunda. Kondisi fisik candi saat pertama kali ditemukan hanya menunjukkan usia candi ini yang disepakati didirikan abad ke 8.
Makam dan candi yang saling bersanding.
Hal menarik bagi saya bukan hanya misteri pendiri candi ini, tetapi juga keberadaan candi itu sendiri. Candi Cangkuang bersebalahan dengan makam pemuka agama Islam pertama di Kampung Pulo, Arif Muhammad. Makam kuno ini berada tidak lebih dari 5 meter dari candi. Keduanya menjadi saksi peralihan periode dari Hindu ke Islam, yang kini menjadi satu-satunya agama yang dianut di Kampung Pulo dan sekitarnya.
Selain candi, jejak Hindu di sini bisa jadi adalah tradisi-tradisi yang masih dipegang penduduk kampung. Transisi nilai dan praktik hidup masyarakat yang sarat corak Hindu bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang ditata cukup rapih di museum mini dekat candi. Mulai dari kalender penanggalan sampai pada tradisi menyalin teks bahasa Arab (kitab dan Qur'an). Sementara nilai dan praktik hidup yang dilestarikan hingga hari ini bisa dilihat dari ritual keagamaan seperti mencuci benda pusaka, juga kebiasaan hidup penduduknya. Sebuah perpaduan yang cair antara nilai Hindu dan Islam. 
Paling menyenangkan dari semuanya adalah bersandingnya candi dengan makam. Keberadaan kedua heritage ini menjadi bukti nyata perpaduan Hindu dan Islam. Walau tidak ada satupun warga yang memeluk agama Hindu, kedua heritage tetap dilestarikan sebagai warisan leluhur oleh warga Kampung Pulo bersama dengan tradisi keseharian hidup mereka.
Bagi pelancong yang ingin juga menikmati perpaduan ini, berkunjung ke Candi Cangkuang tidak memerlukan banyak biaya. Cukup menyiapkam Rp 20.000 per orang, pengunjung sudah bisa menumpang rakit dan mengantongi tiket masuk. Selamat melancong dan meresap, tidak hanya sejuknya udara di Pulau, tapi tradisi penduduknya yang hanya 6 KK itu.



Comments