Membaca novel ini
seperti membaca kembali kisah buku-buku tentang tragedi kemanusiaan masa lalu Indonesia.
Salah satu yang masih segar di ingatan adalah buku Perawan Remaja Dalam
Cengkraman Militer milik Pramoedya Ananta Toer. Buku ini sejatinya adalah
pengalaman pengasingan Pram di Pulau Buru. Pertemuan-pertemuannya dengan para perempuan
korban militer Jepang dari berbagai daerah di Indonesia. Terutama dari Jawa.
Usai Jepang kalah dari sekutu, mereka terombang-ambing. Tidak tahu cara (dan
tidak mau) pulang ke kampung halaman.
Bayangkan jika itu kita.
Berada di tanah asing, tidak tahu jalan pulang, tidak pula tahu asal-usul kita
sebenarnya? Seperti itulah kehidupan para perempua di masa lalu Indonesia. Termasuk
kehidupan Mirah. Di Mirah Dari Banda, Hanna Rambe menariknya lebih jauh
dari pendudukan Jepang. Namun Mirah bernasib tidak jauh berbeda. ‘Terdampar’
jauh dari tanah kelahirannya di Jawa tanpa sengaja. Usianya baru saja tiga
tahun, giginya baru satu dua tanggal ketika dia dibawa (bersama bibinya) ke
Banda dan menjadi buruh kontrak perkebunan pala yang sempat menjadi primadona.
Kehidupan Mirah penuh lika-liku, tapi lagi-lagi mengakrabkan pembaca pada tragedi kemanusiaan yang tidak jauh berbeda dengan kisah Pram. Dalam lini masa hidupnya di Banda, Mirah harus terus terpisah dengan orang-orang yang menjadi api dan pemberi rasa aman. Mulai dari Yu Karsih, bibinya yang kembali pulang ke Jawa setelah habis masa kontrak. Meninggalkan Mirah dengan status barunya sebagai Nyai bagi Tuan Steyn. Kemudian Lawao, kekasihnya yang digulung ombak. Saat Jepang mendarat di Banda, tiga orang terakhir yang menjadi pegangannya pun ikut pergi dibawa tragedi pendudukan Jepang. Tuan Steyn, Wely si bungsu, terakhir Lili si sulung.
Mirah tidak pernah tahu, Wendy Higgins, tamu majikannya yang beberapa hari berkunjung ke Banda adalah anak kandung Lili bersama serdadu Jepang yang baik. Hanya mata dan rambut Wendy yang sesekali membuat Mirah kembali pada masa lalu. Pada Tuan Steyn yang bermata abu dan pada Lili yang memiliki rambut bergelombang. Begitu juga Wendy. Anak yang diadopsi keluarga Australia berwajah campuran Eurasia ini tidak pernah tahu Mirah adalah neneknya. Perwujudan mereka jauh berbeda. Hanya tragedi masa lalu yang dikisahkan Mirah secara detail yang membuat keduanya menyatu. Sama-sama ‘peninggalan’ sejarah masa lalu Indonesia.
Dalam kisah panjang Mirah, tidak satupun garis yang bisa ditarik untuk mempertemukan keduanya sebagai saudara sedarah. Mirah tidak pernah tahu, kemana Lili dibawa oleh militer Jepang dan di mana Lili menghembuskan nafas terakhir. Wendy hanya tahu dirinya diadopsi dari panti asuhan yang menerima dia dari kapal perang Sekutu. Kapal itulah tempat ia dilahirkan oleh Lili. Perempuan Indo yang saat itu diselamatkan Sekutu dalam keadaan kurang gizi. Hanna Rambe memang realistis untuk soal ini. Dalam keadaan perang saat itu, sangat mungkin segala hal menjadi abu. Jejak menjadi hilang. Tidak ada tes DNA yang bisa menjadi alternatif dan orang-orang yang ditinggalkan perang memilih melanjutkan hidup sebagaimana tersedia di hadapannya.
Tragedi kemanusiaan yang diwakilkan pada kehidupan Mirah adalah sejarah transisi Banda sendiri. Dari kehidupan Mirah, Hanna Rambe menyajikan kehidupan di Banda dari masa ke masa. Pulau kecil tempat pengasingan Hatta dan Syahrir ini pernah menjadi magnet karena rempahnya. Ini pula yang membuat Mirah terdampar di Banda. Di Banda peperangan pernah berkecamuk antara berbagai negara Eropa. Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Orang Banda sendiri ‘punah’ setelah tragedi pembantaian dibawah pimpinan J.P Coen. Gubernur Hindia Belanda ini yang juga membuat kebijakan perkebunan pala dikelola tuan tanah dari Belanda.
Masa gemilang rempah di Banda secara perlahan meredup seiring dengan berhasilnya budidaya pala di banyak tempat di dunia. Sistem pengobatan yang semakin modern ikut menurunkan pamor rempah di pasar dunia. Sementara di Banda sendiri, kondisi alam lokal sangat mempengaruhi kualitas pala. Misalnya, Hanna Rambe memaparkan tentang siklus alam Banda dan pengaruhnya pada pala. Angin ribut, erupsi gunung Api dan gempa bumi (Hanna menulisnya dalam bahasa lokal sebagai tanah goyang) menjadi langganan yang sesekali menggagalkan panen pala di Banda.
Puncak kejatuhan pamor pala di Banda terjadi saat pendudukan Jepang. Perkebunan pala dan buruh kontrak ditinggalkan tuan tanahnya dan terbengkalai sampai akhirnya redup hingga saat ini. Upaya mengembalikan dilakukan pasca kekalahan Jepang. Namun tidak banyak pengetahuan yang ditinggalkan oleh tuan tanah kecuali beberapa ahli pembibitan. Sementara buruh seperti Mirah hanya tahu melalui pengamatan saat dia menjadi pemetik pala. Namun sejarah panjang Bandalah yang saat ini justru menjadi magnet wisata pada wilayah kepulauan ini. Keindahan alamnya konon menjadi surga tak terkira bagi para pelancong.
Comments
Post a Comment