Kehidupan macam
apa yang bisa kita bayangkan terjadi di Afganistan? Selama bertahun-tahun
maedia dan buku menggambarkan kehidupan di Afganistan yang selalu bergejolak.
Sulit dipercaya bahwa pernah ada kehidupan tenteram di kaki pegunungan Hindu
Kush ini. Namun, ayah Parvana yang seorang mantan guru dan senang berkisah,
mengatakan sebuah kisah indah pada Parvana. Suatu masa, ketika dia kecil,
kehidupan pernah begitu damai walau hanya sebentar. Anak-anak bisa bermain di
luar dengan bebas. Laki-laki dan perempuan punya kesempatan sama untuk belajar
dan beraktifitas. Sampai akhirnya kudeta terjadi dan disusul invasi lalu jatuh
ke tangan Taliban. Memang, sejak ribuan tahun, Afganistan yang dulu bernama
Ariana (artinya tanah yang mulia dan terhormat) sudah mengalami peperangan
karena secara geografis, negara ini berada di tepi kerajaan-kerajaan yang
saling bertempur dan menjadi jalur perlintasan dari timur ke barat juga
sebaliknya. Cyrus yang Agung dari Persia, Alexander yang Agung dari Macedonia,
Kekaisaran Muaryan, Genghis Khan, dan lainnya pernah meninggalkan jejak di
negeri ini.
Di era Taliban,
kehidupan menjadi tidak menentu, dan bagi
perempuan, periode baru ini membatasi ruang gerak perempuan. Mereka tidak hanya
dilarang sekolah, tapi tidak diperbolehkan keluar rumah jika tidak ditemani
oleh saudara lelakinya. Jika mereka keluar, mereka harus menggunakan burqa yang
menutup seluruh tubuh mereka dan hanya meninggalkan lubang kecil untuk mata.
Parvana, gadis berusia 13 tahun yang menjadi pusat kisah The Breadwinner secara
hukum Taliban masih berhak keluar rumah tanpa burqa. Walau tetap harus
didampingi oleh saudara lelaki dan bisa kapan saja diintimidasi dan dipaksa
menikah. Orangtuanya yang dahulu berprofesi sebagai guru utungnya memiliki
kesadaran Parvana sebagai gadis kecil.
Fisiknya sebagai remaja tanggung lah yang kemudian
memungkinkan Parvana menyamar sebagai anak lelaki. Pilihan yang dia ambil
setelah ayahnya dipenjara tanpa sebab, sementara satu-satunya lelaki yang ada
di keluarganya adalah adik bayinya. Dengan tampilan barunya, Parvana
berpetualang. Dia berjualan di pasar, dia bekerja di tambang, dia jadi kuli
angkut, dia menempuh perjalanan ke penjara untuk menengok ayahnya. Dia menjadi
tulang punggung keluarga dalam negara yang melarang perempuan untuk keluar
rumah, sekalipun di keluarga itu tidak ada lagi anggota keluarga lelaki yang bisa
berkontribusi. Pilihan ini tentu sangat berbahaya dan berisiko, jika
penyamarannya sampai terkuak. Dia hampir saja diberondong peluru saat
tetangganya mengenali wajah Parvana.
Kehidupan macam ini bukan fiksi. Kisah Parvana adalah hasil
wawancara Deborah Ellis pada pengungsi perempuan di kamp pengungsian pasca
perang Soviet. Saat itu Afganistan berada bawah kepemimpinan Islam konservatifnya
Taliban. Semua produk yang dianggap datang dari barat menjadi haram. Musik,
foto, film. Anehnya, kendaraan bermotor tidak masuk kategori ini. Pedagang
lelaki yang ketahuan melayani pembeli perempuan pasti akan mendapat hukuman
berat. Kondisi ini mau tidak mau membuat para perempuan harus menyamar menjadi
laki-laki agar tetap bisa hidup. Kisah ini diitulis Deborah Ellis secara
berseri dalam beberapa judul. Deborah Ellis tercatat sebagai penulis yang juga
aktifis hak asasi manusia. Buku yang dia tulis banyak berkisah tentang kehidupan
manusia yang terdiskriminasi sebagai mana The Breadwinner yang kemudian
diadaptasi oleh Nora Twomey dengan kualitas animasi yang sangat indah. Sangat
mewakili kisah petualangan Parvana sendiri. Walau penuh dengan citra
ketertindasan perempuan, sisi kemanusiaan tetap hadir dalam hidup Parvana. Kemanusiaan
hadir dari pedagang yang berusaha menolak Parvana baik-baik. Serta dari tentara
Taliban yang diam-diam membantu Parvana dan memilih berhadap-hadapan menantang
selongsong senjata untuk melarikan ayah Parvana dari Penjara.
Bagaimana Afganistan saat ini? Setelah Taliban jatuh? Sorotan
kamera sepertinya redup kecuali untuk kejadian-kejadian luar biasa. Apakah
kehidupan sudah berubah? Apakah kedamaian sudah bisa dirasakan lagi? Apakah
perempuan kembali mandapatkan haknya untuk beraktifitas di ruang publik? Atau Afganistan,
si Ariana ini memang terlahir untuk menjadi ladang pergulatan selamanya? Beberapa
tahun lalu, parlemen Afganistan mengadakan kunjungan ke salah satu organisasi
perempuan muslim. Mereka ingin tahu dan belajar bagaimana perempuan berkiprah
di sektor publik dan berkontribusi bagi masyarakat. Saya ada dalam ruang pertemuan
itu dan bertugas sebagai notulensi. Dalam kunjungan itu, tidak ada satu pun
perempuan yang hadir. Seluruhnya adalah laki-laki berjubah dan memakai penutup
kepala yang khas. Saya kesulitan membayangkan perubahan progresif apa yang bisa
dicapai agar perempuan bisa lebih berkontribusi, jika tidak ada satu pun perempuan
untuk menyuarakan opininya dan belajar langsung dari perempuan-perempuan
aktifis Indonesia? Belajar langsung bagaimana para perempuan dari organisasi
perempuan ini menekuni profesi mereka yang beragam?
Comments
Post a Comment