Meresapi Tradisi Rasulan di Desa Kemiri, Gunungkidul

Gunungan yang akan diarak terdiri dari hasil bumi di Desa Kemiri

Gunungkidul memiliki karakter tanah yang berbeda dari wilayah Yogyakarta lainnya. Di bagian selatan, hampir semua tanah berada dan diapit karang purba. Membuat lapisan tanah menjadi tipis. Air hujan yang menimpa tanah akan segera meresap ke balik karang menuju aliran sungai bawah tanah. Karakter tanah yang seperti itu membuat pertanian di Gunungkidul bertumpu pada hujan dengan model tumpang sari seperti jagung, singkong, dan kacang-kacangan. Tanaman yang membutuhkan sedikit air. Begitu juga dengan padi. Hanya padi lahan kering yang bisa ditanam di sebagian besar wilayah selatan Gunungkidul. Kita mengenalnya sebagai padi gogo. Cara menanamnya tidak seperti padi di lahan basah yang harus disemai dulu. Di sini, bibit padi langsung disebar begitu lahan siap. Layaknya menanam kacang dan jagung. Jika di lahan basah padi bisa panen hingga tiga kali dalam setahun, di sini panen padi hanya satu tahun sekali. Dengan model pertanian seperti ini, masyarakat Gunungkidul mengenal tradisi Rasulan atau juga dikenal sebagai Merti Desa. Tradisi ini dihelat usai panen tanaman terakhir. Biasanya berlangsung pertengahan tahun. Saat lahan warga bersih dari semua tanaman dan bersiap memulai siklus bertani berikutnya (menjelang musim penghujan).

Ingkung ayam dan nasi yang akan dibagian pada tamu

Dua literatur hasil penelitian menyebutkan bahwa tradisi Rasulan merupakan tradisi untuk mensyukuri hasil panen serta meminta do’a keselamatan agar panen berikutnya berhasil. Nama rasulan sendiri muncul karena tradisi ini diwarnai corak Islam dengan menyertakan do’a kepada rasul utusan Allah dalam ritus do’a. Nama lainnya adalah Merti Desa (bersih desa) yang diberikan karena tradisi ini dimulai dengan melakukan bersih-bersih area publik dan pemakaman di desa yang dilakukan secara gotong royong. Puncak dari tradisi rasulan adalah ritus kenduren dan pagelaran kesenian lokal. Biasa dilaksanakan di balai desa seperti yang saya saksikan siang itu di Balai Desa Kemiri, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (07/08). Kaum lelaki berkumpul menyiapkan berbagai hal, sementara para perempuan bertugas menyiapkan santapan untuk peserta kenduren atau menyiapkan makanan di rumah masing-masing. Saya berkeliling menyaksikan kesibukan semua panitia. Setiap lelaki terlihat mengenakan pakaian tradisional berupa blangkon, sorjan, dan kain batik. Mereka adalah panitia yang memiliki tugas masing-masing. Tidak banyak perempuan yang terlibat di balai desa. Tiga perempuan yang saya temui terlihat sibuk di bagian belakang balai desa yang difungsikan untuk memasak sajian untuk para tamu usai acara. Menurut panitia, dalam tradisi rasulan, yang terlibat dan hadir di acara kenduren adalah laki-laki, kecuali beberapa tamu seperti saya. Sementara para warga perempuan, menurut kebiasaan berada di rumah. Menyiapkan makanan untuk masing-masing rumah dan menyambut tamu yang langsung datang ke rumah. Saya tidak sempat menanyakan apakah ini berkaitan dengan kepercayaan dan pantangan atau hanya sebatas pembagian peran belaka.

Bingkisan mulai dikemas pada akhir acara saat tamu sedang menyantap makanan

Pemandangan menarik pertama di halaman balai desa adalah tumpukan ingkung ayam dan nasi. Beberapa lelaki telihat menata meja. Ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dengan cara direbus. Ingkung dan nasi itu akan dimasukkan dalam keranjang dari daun kelapa dan dibagikan di akhir acara. Dalam tradisi rasulan, ingkung ayam menjadi bagian wajib selain gunungan, tumpeng, dan berbagai sesajen lain yang menjadi simbol dan memiliki makna filosofis masing-masing. Sesajen yang disajikan dalam kenduren rasulan tidak selalu sama persis di semua desa. Ada satu dua perbedaan. Di Desa Kemiri, sesajen yang saya temui adalah nasi gurih, nasi putih, ingkung ayam, nasi tumpeng, nasi putih dengan lauk ayam dan tempe bacem, nasi yang dikelilingi sayuran, nasi yang di atasnya diberi tauge dan parutan kelapa, serta beberapa jenis jenang (bubur). Sesajen ini diletakan di hadapan seorang kaum, pemimpin do’a yang juga dikenal sebagai rois. Semua sesajen dido’akan dan mewakili berbagai makna yang menjadi harapan masyarakat desa. Misalnya ingkung ayam dimaknai sebagai manusia yang seperti bayi baru lahir. Masih suci atau suci kembali. Tumpeng berarti tempat bersemayamnya para dewa atau Maha Kuasa yang menjadi simbol persembahan kepada tuhan dan para dewa. Sesajen lain memiliki makna spesifik tergantung desa yang mengadakan rasulan. Seluruh sesajen tidak diletakkan begitu saja di lokasi acara. Panitia akan mengarak sesajen dari balai dusun menuju ke balai desa dan diserahkan kepada kepala desa yang kemudian meletakannya di tengah ruang, di hadapan seorang kaum yang akan mendo’akannya.


Salah satu jenis sesajen dalam kenduren
Dalam sesi do’a, kita bisa melihat tradisi rasulan adalah perkawinan antara kepercayaan pada arwah yang dimiliki masyarakat Gunungkidul dengan tradisi Islam. Hampir setengah jam seorang kaum memimpin do’a yang ditujukan tidak hanya kepada Allah sebagai penguasa tunggal alam semesta, tetapi juga pada para arwah dan nabi yang menjadi kepercayaan setempat dan mewakili berbagai unsur. Beberapa nama nabi yang sempat disebutkan dalam do’a adalah Nabi Muhammad yang menjadi penutup nabi, Nabi Sulaiman sebagai pemelihara binatang, Nabi Khidir yang menjadi pemelihara air, dan Nabi Ilyas yang menjadi pemelihara tumbuhan. Selain meminta do’a perlindungan, kaum meminta maaf atas perlakuan manusia yang cenderung merusak pada semua sumber alam. Arwah-arwah bersifat mitologi yang disebutkan dalam do’a adalah Nyai Roro Kidul yang menjadi pelindung lautan serta arwah-arwah lainnya yang dipercaya menghuni desa serta leluhur pendiri desa. Saya sempat berkali-kali merinding saat mendengar rentetan do’a yang dirafalkan dengan suara berat kaum sepuh itu. Dari dekat, saya bisa lihat tangan kaum bergetar saat memegang mic. Ia terlihat berusia lebih tua dibandingkan panitia lainnya dan duduk di titik tengah antara panitia dan tamu di ruang balai desa.   

Para perempuan di bagian belakang balai desa bertugas menyiapkan santapan untuk penutup acara

Dalam obrolan dengan perangkat desa, kehadiran seorang kaum dalam berbagai tradisi kebudayaan dan kehidupan sehari-hari seperti penentuan hari baik pernikahan dan lainnya di Gunungkidul dianggap sangat penting. Seorang kaum atau rois memiliki kemampuan untuk menentukan hari baik perhelatan tradisi atau hajatan. Pengetahuan yang dimiliki para rois ini didapatkan setelah ‘berguru’ pada rois sebelumnya. Penentuan hari baik untuk segala perkara didapatkan dari menghitung tanggal dalam kalender kuno bernama Aji Saka yang masih digunakan oleh para rois. Kalender ini biasanya diwariskan dari rois sebelumnya yang bisa jadi adalah guru yang sengaja dituju calon rois atau leluhur satu darah yang memberikan kalender tersebut pada keturunannya. Kalender Aji Saka berupa kalender dalam sepotong kayu berbentuk segi panjang. Satu sisi kayu itu memiliki simbol-simbol yang berguna untuk menentukan hari baik berdasarkan hitungan. Pengetahuan dan kemampuan sebagai rois telah diberikan turun temurun secara lisan. Ketika saya tanya, apa ada catatan khusus yang bisa digunakan untuk mempelajari kemampuan menghitung kalender Aji Saka dalam menentukan hari baik, pantangan dan larangan? Jawabannya, 'tidak ada. Rois lama memberikan ilmunya secara lisan atau tutur.' Seseorang yang tidak berniat atau bukan rois, tidak pernah benar-benar memahami bagaimana menggunakan kalender Aji Saka yang dikenal mistis, terbuat dari kayu terpilih secara mistis juga dan mampu menentukan diri siapa yang rois terpilih yang bisa menggunakannya. Di obrolan itu, seorang kepalah dusun menyebutkan usia tertua kalender Aji Saka yang pernah diketahuinya telah melintasi tujuh turunan.  

Dalam tradisi rasulan, rois hadir tidak hanya sebagai penentu hari baik, mereka juga bertugas menjadi pemimpin do’a dengan rafalan yang juga diwariskan secara turun temurun. Inilah yang membuat setiap rois di setiap desa memiliki rafalan yang tidak sama persis karena setiap desa mempercayai arwah penghuni desa berbeda dan memiliki leluhur masing-masing yang dipercaya sebagai pendiri desa. Perpaduan tradisi lokal Jawa dan Islam juga terlihat dalam rafalan do’a yang bercampur baur antara bahasa Jawa dan Arab. Menurut tuan rumah yang menampung saya di Desa Kemiri, beberapa rois di desa lain masih memakai bahasa Jawa lama dalam rafalan do’a Kunderen yang sudah sulit dipahami oleh generasi muda. Penyebutan nama-nama nabi dan Allah sebagai penguasa semesta yang disandingkan dengan para arwah menegaskan percampuran dua budaya dan nilai dalam masyarakat di Desa Kemiri. 

Halaman balai desa dipadati warga yang menyaksikan jathilan setelah kenduren

Menurut tuan rumah, tradisi rasulan bagi masyarakat Gunungkidul nilainya melebihi idul fitri. Kerabat yang tinggal dan bekerja di perantauan akan lebih memilih pulang saat rasulan dibandingkan hari raya lain. Setiap rumah menyajikan makanan dan membuka pintu rumah sepanjang hari selama rasulan yang boleh dikunjungi siapapun. Warga percaya, panen akan baik dan berkah saat semakin banyak tamu yang datang dan menyantap sajian di rumah mereka. Saat saya berkeliling kampung, hampir semua pintu rumah warga terbuka. Di beberapa titik, rumah dipenuhi suara obrolan yang meriah. Saya sendiri menyantap nasi gurih dan ingkung ayam setiap kali singgah. Tuan rumah yang saya singgahi pun tidak berhenti menyambut tamu di rumahnya yang masih bergaya lama. Sebuah pendopo berpilar yang dikelilingi kayu jati sebagai sekat antara satu ruang dengan ruang yang lain. 


Tamu undangan pulang membawa panjang ilang.

Ritus tradisi rasulan berakhir dengan membagikan Panjang Ilang kepada tamu yang datang pada saat kenduren. Panjang Ilang adalah keranjang dari daun kelapa yang berisi nasi putih, nasi gurih, potongan ingkung ayam, dan lauk lainnya yang sarat dengan filosofi. Puncak tradisi rasulan di Gunungkidul adalah jathilan dan wayang yang dilaksanakan langsung setelah acara sampai malam hari. Berakhirnya ritus rasulan berarti pertanda warga kembali mengolah tanah. Sambil menunggu hujan, para petani akan menyiapkan tanah. Mengiangi lahan lalu membaliknya agar air hujan bisa meresap ke seluruh tanah. Setelahnya, mereka akan mulai membajak dan menyebar pupuk, lalu mulai menebar bibit. Dengan musim yang semakin sulit diprediksi, saya bertanya-tanya apakah mereka akan bisa memulai siklus bertani sesuai harapan mereka? Semoga saja.

Comments