9 Kilometer Dari Puncak Merapi

Merapi dari Ketep Pass


Setelah didera udara dingin semalaman, pagi itu saya memutuskan keluar menuju halaman luas rumah tempat kami menginap. Langit sudah terang, tapi udara tetap saja menggigilkan tubuh membuat saya berloncat-loncat ringan untuk meningkatkan suhu tubuh. Sejak awal, kami memang sudah diperingatkan kalau udara di lereng Merapi sudut ini sangat dingin, apalagi ini masih puncak kemarau. Semalam saya masih tidak bisa tidur nyenyak meskipun sudah memakai dua lapis baju hangat. Sambil memandangi langit, saya mengingat-ingat, apakah kampung halaman saya sedingin ini? Sepertinya tidak. Walau sama-sama di kaki gunung, Desa Sumber yang saya singgahi ini jauh lebih dekat dengan puncak gunung. Jarak Desa Sumber ke puncak Gunung Merapi hanya sekitar sejauh 9 kilometer. Itu kenapa dari sudut sini, Gunung Merapi tampak menjulang tinggi dan seolah bisa dicapai dengan hanya berjalan kaki.

Desa Sumber adalah satu dari sekian banyak desa di 4 kabupaten (Sleman, Magelang, Boyolali, Klaten) yang mengelilingi lereng Merapi. Desa Sumber berada di lereng Merapi sisi barat laut di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dalam data profil desa, Desa Sumber masuk dalam wilayah KRB III. Artinya, Desa Sumber adalah satu dari sekian banyak desa yang berpotensi terdampak besar jika Merapi meletus. KRB atau kawasan rawan bencana adalah peta kawasan-kawasan yang berisiko terkena dampak primer dari letusan merapi. Peta ini dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di bawah kementerian ESDM. Dengan peta ini, bisa diketahui mana saja kawasan yang harus bebas pemukiman dan mana saja yang boleh menjadi pemukiman namun tetap rawan sehingga langkah-langkah kesiapsiagaan serta mitigasi harus dilakukan.

Kawasan bekas tambang dalam tahap reklamasi

Sekalipun masuk wilayah kawasan rawan bencana, pagi itu kehidupan di Desa Sumber berjalan seperti layaknya desa yang jauh dari risiko bencana. Bagi seorang teman yang sehari-hari bekerja di Jakarta, siklus hidup warga di sini membuat jam seolah melambat dari biasanya. Sebagian orang sibuk di dapur, sementara yang lain duduk-duduk santai di teras rumah. Menyesap teh atau sekedar bercanda dan memandang jalanan. Tidak ada tanda-tanda kekhawatiran meskipun setahun terakhir ini Merapi ada di level waspada. Jauh di ujung timur sana, Merapi memang terlihat tenang. Rahasia hidup di sini adalah: warga sudah tahu bekal hidup harmonis dengan Merapi melebihi soal pasrah, tetapi lebih pada hidup berdampingan dengan Merapi berbekal pengetahuan. Dan itu saya ketahui dalam pertemuan sehari sebelumnya.

Bersama rombongan peserta kunjungan lapangan dari Desa Banjarejo, Tanjungsari, Gunungkidul, sehari sebelumnya saya tiba di Desa Sumber sekitar jam 10.30. Secara resmi kami disambut di balai desa oleh seluruh perangkat. Saat menyambut kami Kepala Desa Sumber, Maryono menyampaikan kondisi terbaru Merapi dan langkah apa saja yang harus dilakukan jika Merapi meletus saat acara berlangsung. Sekilas ini terdengar menyeramkan, namun ini adalah bentuk kesiapsiagaan pemerintah desa pada bencana gunung api. Di Desa Sumber, menyampaikan informasi kesiapsiagaan bencana sudah menjadi standar yang diterapkan dalam setiap kegiatan yang melibatkan orang baru, sementara warga secara terpisah mendapat sosialisasi dan edukasi mengenai kesiapsiagaan. Satu dekade ke belakang, prosedur untuk menyampaikan informasi mengenai kesiapsiagaan belum menjadi budaya di Desa Sumber. Ini adalah bentuk keharmonisan baru yang terjalin antara masyarakat dengan Merapi: Dengan mengenal siklus hidup Merapi dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan saat siklus sampai puncaknya. Jika dulu masyarakat cenderung pasrah, kini masyarakat hidup berdampingan dengan berbekal pengetahuan. Mereka tidak hanya menikmati kesuburan melimpah berkat semburan lahar yang berubah jadi pupuk alami, tetapi juga mengetahui kapan saat harus berhenti dan memberi jeda pada Merapi menggeliat sebentar. Secara kelembagaan, kesiapsiagaan bencana di Desa Sumber kini ditangani oleh LPBD (Lembaga Penanggulangan Bencana Desa) yang tidak hanya bekerja saat bencana terjadi, tapi juga melakukan proses-proses edukasi pada masyarakat dan pengunjung dalam ragam kesempatan.

Sumber mata air di kawasan bekas tambang

Saat berkeliling di kampung, kami memang tidak melihat jejak keganasan Merapi pada 2010 lalu. Yang umum dilihat adalah rumah-rumah yang berdinding batu tanpa plester dan tanah berpasir keabuan. Keduanya adalah jejak bahwa Merapi pernah dan memang rutin menyemburkan berkubik-kubik pasir dan bebatuan ke sekitarnya, termasuk ke Desa Sumber. Keduanya adalah material paling baik untuk membangun rumah. Menurut Maryono, satu batu yang dimuntahkan Merapi cukup untuk membangun setengah huniannya kini. Ini yang membuat masyarakat tetap ‘mencintai’ Merapi meskipun tidak pernah tidur dari aktifitasnya. Merapi memberi lebih banyak kehidupan pada masyarakat dibanding kerusakan akibat letusannya. Merapi tidak hanya mengganti setiap hunian yang dirusak dengan batuan dan pasirnya, tapi juga memberikan tanah subur yang menghidupi. Di sini, hasil tani selalu melimpah dan surplus. Apa saja bisa tumbuh degan mudah. Bagi peserta kunjungan lapangan dari Desa Banjarejo, Gunungkidul, ini adalah sesuatu yang sangat berbeda karena di Banjarejo, kondisi alam tidak memungkinkan mereka untuk menanam apa saja sepanjang tahun.   

Melimpahnya material alam ini sudah lama menjadi sumber penghidupan tambahan masyarakat selain dari hasil pertanian. Di sini, menambang pasir Merapi adalah pemandangan sehari-hari karena secara ekonomi sangat menghasilkan. Namun di Desa Sumber, pemerintah mulai menerapkan banyak kebijakan untuk mendorong penambangan yang lebih ramah lingkungan. Mungkinkah ada? Menurutu Eko Kalisno, Sekretaris Desa Sumber, penambangan pasir menggunakan alat berat telah dilarang di Desa Sumber. Penggunaan alat berat saat menambang pasir telah menurunkan kualitas ekosistem alam di Desa Sumber. Selain hutan yang rusak, mata air juga berkurang akibat penambangan yang masif. Pagi saat kami berkeliling, Eko Kalisno menunjukkan kawasan bekas tambang yang kini dalam tahap alih fungsi menjadi area perkemahan. Beberapa tahun lalu, kawasan tersebut rusak berat dan kering. Saat mulai disewa desa, pemerintah menemukan dua mata air di kawasan tersebut. Di sana kini ditanami beberapa pohon aren untuk melestarikan mata air. Aren adalah salah satu dari sekian banyak tanaman yang mampu menyimpan air. Ke depan, air dari kedua sumber itu akan dialirkan ke rumah-rumah warga yang berada di titik bawah. Kawasan itu kini telah menjadi milik desa setelah dibeli menggunakan ADD (Anggaran Dana Desa).

Tidak jauh dari kawasan itu, di samping rumah warga, sebuah mata air sudah ditata rapih. Disekat-sekat dalam beberapa bak. Eko Kalisno menceritakan bahwa mata air itu adalah salah satu mata air dalam program revitalisasi dan reklamasi beberapa kawasan di Desa Sumber agar kembali ke fungsi awalnya. Sebelum diperbaiki, mata air itu penuh dengan sampah plastik dan sempat rusak. Airnya tidak bisa digunakan. Setelah direvitalisasi, termasuk pelarangan membuang sampah plastik, mata air bisa kembali dimanfaatkan oleh warga. Saat terjadi bencana Merapi terakhir, mata air ini menjadi salah satu mata air yang masih ‘hidup’ dan bisa membantu kebutuhan air bersih warga. Di sudut mata air Eko menunjuk pohon aren tua yang statusnya kini tidak boleh ditebang. Selain pohon aren, saya melihat ada pohon beringin yang masih kecil di sebidang tanah dekat salah satu bak. Mungkin usianya baru beberapa tahun saja. Sama seperti aren, beringin adalah pohon yang baik untuk menyimpan air. Ini dijaga pemerintah agar air tetap bisa keluar.

Mata air yang sudah ditata

Di Desa Sumber, keseriusan pemerintah desa dalam memaksimalkan potensi desa dengan tetap menjaga alam tidak hanya bisa dilihat dari dua kebijakan di atas. Keseriusan mereka bisa dirasakan dari aktifitas sederhana. Saya hampir tidak menemukan kemasan plastik dalam sajian yang mereka suguhkan selama acara. Mulai dari camilan sampai makanan berat. Semua disajikan secara prasmanan. Soal sampah, pemerintah desa memang sangat serius. Mereka tidak hanya membuat satgas sampah yang mengelola persampahan rumah tangga dari seluruh dusun, tapi mereka juga melakukan edukasi ke masyarakat untuk mengurangi produksi sampah. Seperti ditunjukkan kepada kami melalui berbagai sajian tanpa kemasan. Meskipun di beberapa sudut saya masih melihat sampah kemasan, tapi jumlahnya tidak banyak. Seorang perempuan yang kami jumpai saat berpapasan mengatakan bahwa pemerintah memang selalu menyampaikan berbagai informasi pada masyarakat. Setiap program yang ada di pemerintah biasa disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Masyarakat selalu antusias menanti ilmu baru, terutama dari tamu-tamu yang berkunjung ke desa mereka.

Katalog sampah di kantor pemilahan sampah

Kebijakan revolusioner di Desa Sumber tidak akan tercapai tanpa pemerintahan solid yang banyak digerakkan oleh anak muda desa. Mereka yang terlibat di pemerintah desa adalah anak muda-anak muda. Bahkan, remaja-remaja desa dilibatkan dalam berbagai program termasuk dalam pemetaaan kawasan di desa. Kelompok perempuan juga terlibat tidak hanya pada sektor-sektor yang dekat dengan kehidupan domestiknya seperti soal sampah rumah tangga, mereka juga terlibat ikut memetakan persawahan dan kawasan lainnya. Di sini, saya melihat revolusi mental yang sesungguhnya dibanding wacana-wacana yang digaungkan selama ini. Tua-muda, lelaki-perempuan, mereka berpartisipasi membangun desa. Kata ‘sambatan’ sering keluar dari bibir para perangkat desa yang mendampingi kunjungan kami. Sambatan adalah bahasa lokal yang berarti gotong royong. Nilai-nilai ini sepertinya sangat erat diterapkan dan menjadi mesin penggerak kebijakan sehingga berjalan sesuai fungsi dan perannya.

Di mata air itu, saya melihat beberapa sampah kantong plastik. Jumlahnya mungkin hanya tiga plastik, namun itu cukup mengkhawatirkan, saat ‘rezim’ berganti, akankah mata air itu kembali jadi tong sampah. Apakah proses edukasi pemerintah saat ini akan menjadi norma baru yang bisa bertahan melewati satu generasi sehingga masyarakat bisa terus hidup berdampingan dengan Merapi. Menjaga apa yang sudah alam beri dan hanya mengambil secukupnya. Siang itu, kami berpamitan dan mengakhiri perjalanan di Ketep Pass. Memandang Merapi yang menunjukkan dirinya secara menyeluruh. Asap solfatara telihat keluar di puncaknya. Saat tertidur begitu, Merapi tidak hanya memberi kehidupan bagi masyarakat sekitarnya tapi juga menjadi penghiburan bagi mata yang bosan ini.  

*** 
Informasi mengenai Desa Sumber bisa diakses melalui: http://desasumber.magelangkab.go.id        
           

Comments