Laksmi Pamuntjak bukan nama baru
dalam jagad perbukuan Indonesia. Setiap kali singgah ke toko buku, saya selalu
melihat beberapa buku karyanya di pajang di rak toko buku. Tapi saya baru
benar-benar tertarik membaca buku Laksmi ketika buku Aruna dan Lidahnya
diangkat ke layar perak oleh Erwin, salah satu sineas Indonesia yang
film-filmnya pernah menyabet penghargaan di berbagai festival. Ada rasa
penasaran, apa yang membuat buku ini sangat menarik diadaptasi menjadi film?
Biasanya, buku yang diangkat ke layar lebar adalah buku fiksi popular dengan
angka penjualan tinggi seperti serial Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tentu
saja itu bukan alasan Erwin. Dalam sebuah wawancara, Erwin mengatakan, Aruna
dan Lidahnya mengingatkan ia tentang asyiknya menyimak orang saling berbincang
sambil menikmati makanan.Alasan yang tak memerlukan ‘best seller’ bagi sebuah
buku agar bisa diangkat ke layar lebar. Karena itu, film Aruna dan Lidahnya
menjadi film adaptasi lepas. Artinya, isi film tidak sama persis dengan novel
tapi tetap mempertahankan esensi. Tentang seni menikmati makanan.
Petualangan mereka bermula di Surabaya
dan Madura. Dari sudut pembaca, saya sudah bisa mengerti bagaimana obsesi pada
makanan digambarkan sebagai bentuk perayaan dan apresiasi. Bukan lagi sekedar
untuk memenuhi kepentingan bertahan hidup. Walau kenyang, Aruna dan kedua
temannya tetap menyiapkan ruang untuk mencicipi setiap makanan dari setiap
lokasi yang dikunjungi, karena sekali lagi, tujuannya bukan lagi untuk bertahan
hidup, tapi untuk merayakannya, mengapresiasinya, menganalisisnya, dan
mendebatkannya. Tidak hanya rasa, tapi kehidupan sosial tempat lahirnya makanan
itu. Misalnya ketika Aruna di Madura (Pamekasan), setiap makanan lezat yang dia
santap membuatnya sulit membayangkan bahwa di tempat kuliner lezat itu pernah
terjadi konflik berlatar perbedaan keyakinan. Seperti kata Erwin, dalam setiap
santapan ketiga sahabat itu selalu berbincang banyak hal dengan akrab dan cair.
Tidak melulu soal makanan. Mereka membicarakan apa saja. Pekerjaan, isu terkini,
atau hal remeh-temeh lain seperti kebanyakan orang saat menyantap hidangan
dalam satu ruang dan waktu.
Bagiku buku ini menjadi semacam daftar
kuliner yang harus dicicipi ketika mengunjungi delapan kota yang didatangi
Aruna, Bono, dan Nad. Ada lebih dari sepuluh jenis makanan yang dibahas dalam
buku yang semuanya dikulik oleh Laksmi dari sudut pandang keempat karakter
dalam Aruna dan Lidahnya. Terutama Aruna, Bono, dan Nad. Ketiganya mengulik
makanan dari bentuk fisiknya hingga ke setiap bumbu yang membuat makanan
tertentu bercitarasa unik. Dari buku ini, kekayaan setiap kuliner Indonesia
tampil dari sudut pandang personal yang diwakili setiap karakter dengan sifat
yang berbeda. Kita diajak memahami bagaimana setiap kuliner tersaji secara
beragam berdasarkan daerahnya. Kuliner dengan menu inti sama, bisa menawarkan
rasa unik yang amat berbeda di setiap lokasi yang dikunjungi mereka dan umumnya
sangat khas. Mie di Palembang berbeda cita rasa dengan Mie di Singkawang karena
kedua daerah memiliki bumbu dan cara masak tersendiri yang tidak ditemui di
masing-masing tempat. Seperti petis yang menjadi ciri khas masakan di Madura
dan tradisi memasaknya membuat makanan di Madura berbeda misalnya dengan Aceh
yang tidak mengenal petis dalam menu makanan mereka. Selain itu, ada akulturasi
budaya dalam setiap makanan yang disajikan. Hal-hal seperti itu secara detail
diulik setiap karakter dalam buku. Kekayaan rasa dari kuliner di tempat yang
mereka kunjungi. Cara ketiganya membicarakan makanan yang mereka santap mulai
dari tampilan fisiknya hingga kesan mereka pada rasanya, membuat saya ingin
mencatat lalu menggarisbawahi keunggulan makanan ini dibanding makanan itu sesuai
dengan perdebatan mereka.
Aruna, narator buku ini sejatinya
tidak hanya melulu terobsesi pada makanan. Dia juga mengenalkan pembaca pada
karakter Bono, Nad dan Farish dari sudut pandangnya. Keunikan dan perbedaan
karakter setiap tokoh mendapat porsi satu bab yang semuanya dinarasikan oleh
karakter Aruna. Bono yang memang sejak awal ingin berkarir sebagai chef
sejatinya adalah sosok yang berani membuat inovasi dan eksplorasi menu.
Penjelajahan makanan bagi Bono adalah sumber inspirasi untuk membuat menu baru
di restoran tempatnya bekerja juga membawa menu-menu lokal ke kalangan atas
yang menjadi tamu reguler restorannya. Nad yang digambarkan sempurna
secara fisik, karir, dan prestasi digambarkan Aruna kerap menjadi trigger
yang membuat Aruna rendah diri namun pada saat yang sama, Aruna sama sekali
tidak membencinya. Dari kacamata Aruna, Nad adalah kontradiksi itu sendiri dan
dalam perjalanannya di buku, Nad menjadi cermin bagi Aruna untuk belajar
memaknai hidupnya sendiri. Farish, rekan kerjanya terlihat tidak terlalu
menonjol walau selama perjalanan, keduanya mulai saling dekat. Saat Aruna
menyadari betapa kuat intrik politik dalam kasus flu burung yang membuatnya
berhenti bekerja, Farish justru menjadi sosok yang membersamai Aruna di
masa-masa emosionalnya. Kisah wabah flu burung, dalam Aruna dan Lidahnya
seperti hanya menjadi pelengkap dan ‘terminal’ pengantar Aruna pada kisah yang
sebenarnya. Penjelajahan kuliner keempat karekter dalam buku Aruna dan Lidahnya.
Ini bukan saja buku perdana karya
Laksmi Pamunjtak yang saya baca, tapi ini juga buku pertama yang saya baca
tentang kuliner yang dibungkus dalam cerita fiksi. Saya rasa, setelah membaca
buku ini, baik sekali menonton filmnya. Selain untuk melihat perspektif apa
yang disajikan Erwin, kita juga bisa benar-benar menyaksikan seperti apa
kuliner itu tampil dalam film. Bukan food vlog atau video promosi
kuliner lainnya.
Comments
Post a Comment