Beberapa hari yang lalu, saat
saya menata buku-buku yang ada di atas meja, memisahkan buku yang sudah dan
belum dibaca, saya takjub karena selama 2019 ini saya membaca cukup banyak buku
dibanding tahun sebelumnya. Saya kemudian memutuskan untuk menulis sedikit
catatan sebagai bentuk apresiasi diri karena telah merampungkan bacaan di luar
ekspektasi. Iya, betul. Saya sebenarnya tidak punya target khusus
berapa banyak dan jenis buku apa saja yang harus saya baca selama satu tahun,
tapi saya ingat, ‘lebih banyak’ membaca buku adalah salah satu resolusi saya. Dengan
pencapaian yang lebih maju sedikit dibanding 2018, saya kira saya harus
mengapresiasi diri dengan catatan ini.
Membaca lebih banyak buku adalah
resolusi awal tahun 2019 karena saya menyadari kebiasaan buruk yang saya anut beberapa
tahun ke belakang: belanja buku secara impromptu. Alias tanpa terencana. Setiap
ada yang dianggap menarik saya akan membelinya. Dalam satu bulan saya bisa
membeli lebih dari tiga buku hanya karena alasan tertarik. Hasilnya, koleksi
buku semakin menumpuk tapi sedikit yang saya baca. Saya ingat, terakhir kali
mendiang Mama berkunjung ke Yogya. Suatu pagi dia masuk ke kamar dan menatap
tumpukan buku di sudut kamar, ‘Itu memang kamu baca semua?’. Reaksi saya saat
itu defensif, ‘Iya dong’. Padahal nyatanya memang baru tahun ini, 3 tahun
setelah komentar Mama saya benar-benar punya niat menyelesaikan bacaan semua
koleksi buku saya. Dan menyadari bahwa beberapa buku yang saya baca ternyata
membosankan. Bukan lagi topik-topik atau kisah yang menarik minat, tapi sebagai
bentuk tanggung jawab, saya tetap membacanya. Di samping itu, menyelesaikan buku yang tidak benar-benar menarik minat adalah bentuk
latihan fokus. Dengan berhasil menyelesaikan buku-buku membosankan itu, saya
patut mengacungi jempol untuk diri sendiri yang ternyata mampu bertahan untuk
hal-hal tak menyenangkan.
Beberapa tahun ke belakang, sejak
era ponsel pintar, aktifitas membaca buku menjadi sesuatu yang tidak mudah.
Sepertinya otak memang sudah sulit dikondisikan untuk bisa fokus membaca satu
buku dalam rentang waktu yang lama. Dalam sebuah kolom di Kompas, seorang
penulis punya analisis menarik soal kesulitan fokus membaca, saya lupa siapa
dia, mungkin Jean Couteau. Menurutnya, era internet berkontribusi besar pada
menurunnya kemampuan fokus dalam aktifitas membaca. Ini terjadi karena sebagai
masyarakat digital, kita mengadopsi kebiasaan membaca baru. Apalagi setelah era
ponsel pintar. Kita terbiasa membaca berita secara loncat-loncat. Kita akan
dengan mudah mengklik setiap informasi yang muncul di beranda, yang kita anggap
menarik dan biasanya topiknya beragam. Kita melompat dari satu topik ke topik
lain dalam durasi singkat. Silahkan tengok berapa jendela yang kita buka di
mesin pencari kita dalam satu periode berselancar di dunia maya. Dengan model membaca yang melompat cepat antara satu topik
ke topik lain dalam durasi singkat, kita menjadi tidak lagi meluangkan cukup
waktu untuk mencerna satu informasi secara menyeluruh. Kita merasa harus
bersegera sebelum muncul lagi informasi baru. Akibatnya, saat harus membaca
buku yang tulisannya berkali-kali lipat lebih banyak daripada informasi yang
biasa diakses di internet, kita menjadi cepat bosan. Setidaknya itu yang saya
alami. Butuh waktu lama untuk bisa kembali melatih fokus. Salah satunya dengan
menahan godaan sering-sering menengok ponsel selama membaca. Awal-awal melatih
fokus, saya bahkan harus mematikan layanan paket data dan baru saya nyalakan
kembali setelah selesai membaca. Karena itu, belakangan membaca saya anggap
seperti aktifitas semedi. Harus dikondisikan sedemikian rupa sampai terhindar
dari berbagai noise.
Ini berbeda sekali dengan
beberapa tahun lalu. Apalagi pada masa-masa awal saya gemar membaca. Aktifitas ini
tidak saja saya lakukan sebagai bentuk pelarian dari masalah, tapi juga sebagai
proses petualangan yang amat menyenangkan. Rekor terbaik saya dalam aktifitas
membaca adalah berhasil menyelesaikan buku setebal 999 halaman selama satu
hari. Buku itu adalah buku terjemahan yang saya pinjam dari adik kelas. Judul
bukunya adalah Sang Penebus. Saya masih ingat karena selama membaca saya selalu
ditegur oleh teman-teman yang ‘kesal’ melihat saya tenggelam sampai lupa
aktifitas lainnya, termasuk makan. Padahal, di pesantren, makan termasuk satu
dari sekian banyak aktifitas dengan batas waktu tertentu. Kalau tidak segera
makan sesuai jadwal, kamu pasti tidak punya waktu lain untuk makan berat. Tapi
tetap saja, ini adalah masa-masa ketika membaca adalah rekreasi paling
menyenangkan dan penuh petualangan. Saya tentu rela mengabaikan banyak hal.
Ditarik lagi ke belakang.
Aktifitas membaca saya kira tidak akan benar-benar menjadi kegemaran saya
seandainya saya tidak ‘dititipkan’ untuk tinggal di rumah nenek. Mungkin bagi orang,
ini tampak menyedihkan karena sebagai konsekuensi anak dari keluarga besar,
saya otomatis harus diasuh oleh nenek saya begitu mama mengandung adik saya. Saya tidak ingat, mungkin saya mulai dititipkan saat berusia satu tahun karena jarak saya dengan adik kurang dari dua tahun. Tapi dari pengalamanku, kehidupan masa kecil
di kampung neneku adalah masa-masa terbaik karena di sinilah kegemaran membaca
mulai tumbuh. Pertama, bibik saya bernama Ayu adalah orang yang kerap membacakan
buku pada saya. Saya ingat, salah satu buku yang pernah dia bacakan kepada saya
berkisah tentang kemisteriusan Laut Karibia. Ini salah satu buku yang
menumbuhkan ketertarikan luar biasa saya pada pelajaran geografi selama SD dan
kemudian berlanjut ke sejarah. Hingga hari ini, saya masih sangat menyukai
sejarah. Kedua, kegemaran membaca tumbuh dari kamar loteng di rumah bibi saya yang lain, Enung. Dia adalah adik persis Mama. Rumahnya kerap menjadi tempat main lainnya.
Suami bibi adalah seorang yang gemar membaca dan menulis. Koleksi buku-bukunya di
simpan di loteng kamar. Saya akan melahap buku-bukunya selama siang hari karena
selama periode itu, keluarga ini punya kebiasaan tidur siang. Saya yang tidak
terbiasa tidur siang akan mengisinya dengan membaca buku sementara seluruh anggota keluarga bibi tidur pulas. Di loteng ini, saya
berkenalan dengan Siti Nurbaya dan Kartini. Kemudian kegemaran membaca
terakomodasi oleh kakak-kakak saya yang bersekolah di pesantren dan kuliah. Saat
mereka pulang ke kampung, mereka selalu membawa macam-macam bacaan. Dari
majalah seperti Aneka Yess atau Annida, sampai pada buku-buku topik serius.
Salah satu buku yang saya baca adalah koleksi kakak sulung yang kuliah di UIN
Bandung, bercerita tentang DOM di Aceh. Buku mengerikan karena menceritakan
tentang perlakuan militer saat era GAM.
Kegemaran membaca terus tumbuh
dan tetap menjadi rekreasi sampai era internet datang. Masa-masa itu, dari
periode SD sampai SMA, membaca adalah sebuah kesenangan tiada tara. Juga
sebagai pelarian yang menjadi pelipur lara setiap kali ada permasalahan. Sedih
rasanya mengingat bahwa saat ini, membaca tidak semenyenangkan dulu karena
sulitnya konsentrasi. Belakangan, saya merasa membaca sudah menjadi sebuah
kewajiban meskipun tentu masih menjadi stress release yang tidak tergantikan. Maaf,
saya sedang tidak menyalahkan internet. Saya hanya menekankan bahwa era digital
membawa konsekuensi baru yang harus dibarengi dengan upaya lain agar tidak
membuat kualitas literasi menurun. Sesuatu yang baru saya antisipasi belakangan
ini. Saya butuh upaya dan waktu khusus untuk bisa membaca dengan serius. Kalau
bukan karena kondisi kamar yang sudah sesak atau kebutuhan informasi untuk
pekerjaan, saya tentu tidak akan benar-benar memaksa diri membaca semua buku
yang telah dibeli. Atau memang minat saya sudah bergeser, karena beberapa buku
masih sangat menyenangkan untuk dibaca. Mungkin memang membiasakan kembali
membaca harus dilakukan lebih konsisten lagi. Siapa tahu saya bisa kembali menikmati
bacaan benar-benar sebagai kesenangan, karena justru dengan ini saya bisa
benar-benar memahami apa yang saya baca. Jadi jangan minta saya mengulas setiap
buku yang saya baca di tahun 2019 ini. Sedikit saja yang benar-benar bisa saya
ceritakan. Sisanya adalah penebusan dosa beli tanpa terencana. Tapi karena
alasan ini saya harus mengapresiasi diri. Terima kasih pada diri sendiri yang
tetap bisa membaca buku-buku itu yang sebenarnya bisa terwujud berkat terlalu
punya banyak waktu luang alias menganggur, hahaha. Sepertinya membaca lebih
banyak buku masih harus menjadi resolusi tahun 2020 dan selamanya. Saya masih
harus berusaha untuk kembali pada jalur lama. Masih ada 3 kontainer buku yang
belum terbaca. 2020, please be kind.
Comments
Post a Comment