Ritual Pagi


Yogyakarta, 5 Desember 2019

Ilustrasi belaka tapi foto milik pribadi. Sumpah. Bisa dicek di google :D

Mari aku ceritakan kehidupan pagi dari sudut sini. Kamarku yang berada di lantai dua. Aku mengatakan ini hoki. Karena saat memutuskan berpindah hunian, kamar yang aku tempati ini masih kosong. Ini adalah satu-satunya kamar yang memiliki jendela tambahan karena berada di paling pojok yang memiliki teras. Berkat jendela tambahan itu kamarku tidak pernah kekurangan sinar matahari sepanjang siang. Akses pintu menuju teras berada tepat di sisi lain pintu kamarku. Meskipun kamarku didesain menghadap ke barat, teras hunianku dikonsep mengikuti rumah empunya. Menghadap ke sisi utara. Inilah yang membuat pagi dari sudut sini selalu menyenangkan.

Dari sini, aku bisa melihat punggung Merapi sisi barat. Seandainya tidak ada dua pohon sawo raksasa di halaman rumah klasik milik tetangga, niscaya aku bisa menyaksikan Merapi secara utuh. Lengkap dengan puncaknya yang krowak dan menyembulkan asap, yang dari jauh terlihat tak bergerak. Menyerupai lukisan lanskap yang diabadikan seorang seniman. Tapi aku sedang tidak menyesali kehadiran dua pohon sawo raksasa itu. Kareba berkat keduanya, ritual pagiku menjadi semakin sempurna.

Puncak kedua pohon sawo tinggi itu adalah hunian para burung golejra atau lebih umum disebut burung gereja. Meskipun di tengah kota, kampung ini memang bisa dibilang cukup hijau. Ada beberapa pohon tinggi besar dan rimbun termasuk pohon beringin tua di sebuah galeri seni yang dulunya adalah kampus ISI Yogyakarta. Setiap pagi, aku bisa menyaksikan–mengutip Fariddudin Attar—‘musyawarah burung’ yang riuh. Berterbangan secara bergerombol dari puncak pepohonan. Sesekali, sedikit gerombolan bertengger di kabel-kabel aliran listrik yang silang melintang. Keriuhan ini terjadi bersamaan dengan matahari yang merambat naik dari ujung timur.

Sejak lepas subuh sampai setidaknya jam 6 pagi, aku membiarkan kamarku hening dan fokus mendengarkan suara-suara. Biasanya aku berhasil menghitung jenis burung dari karakter suaranya. Ada 4 jenis suara, tapi hanya burung gereja dan merpati yang bisa aku konfirmasi. Bunyi lain yang tidak aku lupakan adalah koko ayam. Dalam radius yang bisa dijangkau pendengaranku, ada 3 sampai 4 jenis kokok ayam yang berbunyi secara berurutan dari sudut-sudut yang berbeda. Jauh dekat posisi si ayam bisa didengarkan dari tinggi volume kokoknya. Semakin kencang semakin dekat. Berbeda dengan burung, bunyi ayam ini bisa aku hitung karena mereka berkokok secara bergantian dengan urutan yang selalu sama seolah mereka sudah saling bersepakat tentang giliran berkokok.

Jauh sebelum suara burung dan ayam, satu jenis suara sudah muncul begitu ritual ibadah shalat subuh selesai: sapu lidi yang menggesek tanah. Aku tidak pernah tahu siapa yang rutin melakukan aktifitas ini tapi suaranya muncul dari dua sudut: rumah dengan dua pohon sawo raksasa dan galeri dengan beringin tuanya.

Saat musim hujan molor begini, pagi adalah periode waktu yang paling dinantikan. Suhu udara turun sekian derajat yang sesekali disertai hembusan angin. Di sini, hembusan angin pagi tidak hanya menyejukkan kulit yang sepanjang malam dibakar udara panas, tapi juga membawa wewangian bunga yang ditanam tetangga. Kantil dan melati paling rajin menyambangi kamarku. Padahal rumah tetangga pemilik dua jenis bunga itu ada di ujung jalan masuk kampung.

Ritual pagi yang berlangsung dari lepas subuh sampai sekitar jam 6 pagi belakangan menjadi semacam olahraga atau ibadah indrawi bagiku, yang aku lakukan dalam kesengajaan: Mata menyaksikan pemandangan alam apa saja di hadapanku (aktifitas para burung, tetangga yang berlalu lalang, transisi warna langit saat matahari terbit), telinga mencoba mendeteksi suara-suara, hidung menghidu macam-macam aroma, dan kulit yang menyecap sejuknya udara pagi. Lidah? Jika sedang tidak malas, teh hangat jadi pelengkap ritual pagiku. Ibadah indrawi semacam kenikmatan tersendiri, karena secara sadar seluruh indra dipersiapkan untuk meresapi keadaan sekitar yang tidak pernah bisa dilakukan pada jam-jam ketika otak distel untuk fokus pada pekerjaan.   

Lepas jam 6, keriuhan datang dari gerombolan homo sapiens dengan berbagai aktifitasnya termasuk aku. Pun ritual pagiku yang berlanjut: Menyalakan radio dengan frekuensi yang itu-itu saja, Delta FM segmen Asri and Nino in the Morning.  

Comments

Post a Comment