Setelah menceritakan suasana pagi
di sudut sini. Aku ingin menceritakan suasana sore hari dari sudut yang sama. Di mana satu
tempat bisa memberikan pengalaman yang jauh berbeda hanya karena perbedaan
waktu. Barangkali, ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perbedaan suasana
pagi dan sore di sini adalah 'Lain lubuk, lain ikan'. Aku pelesetkan dari makna
harfiah aslinya yang merujuk pada perbedaan karakter tiap tempat, bukan
suasana.
Jika pagi di sini amat riuh dengan suara
para burung dan ayam, juga berbagai aroma wangi bunga (baru-baru ini ditambah
aroma bau bangkai. Sepertinya ada tikus mati di atap sebelah), maka saat sore, sudut sini menyajikan
kondisi berbeda. Sekitar hunian diramaikan oleh aktifitas manusia setelah
seharian beraktifitas. Telinga dan hidung jadi dua indera yang banyak
terstimulasi untuk bekerja karena saat memasuki sore.
Suara khas yang selalu
terdengar setiap sore adalah teriakan anak-anak dan suara gedebuk bola yang ditendang lalu
mengenai segala hal di mana bola itu berhenti menggelinding. Bermain bola menjadi
aktifitas terfavorit anak-anak (lelaki) di kampung ini. Kecuali di musim hujan
seperti yang sedang berlangsung sekarang. Permainan bola sering absen karena hujan sering dibarengi angin. Biasanya
anak-anak memilih menghabiskan waktu bermain hujan-hujanan.
Selaiknya kondisi kebanyakan kampung
padat di tengah kota, di kampung ini tidak ada lapangan yang ideal bagi
anak-anak untuk bermain bola. Apalagi ruang publik yang bisa dinikmati semua
kelompok usia. Gang utama masuk kampung yang ukuran lebarnya sekitar 10 meter
telah bertransformasi menjadi ruang publik. Di sinilah anak-anak bermain sepak
bola. Sementara kelompok lainnya memilih duduk-duduk dekat gardu. Gang ini
memang cenderung lengang karena bukan jalan yang digunakan untuk lalu lintas
mobil. Semakin dalam memasuki kampung, jalan menjadi semakin sempit yang haanya bisa dilalui motor. Sisi timur kampung ini sendiri berada di bantaran kali Winongo. Di RT ini, satu-satunya jalan yang cukup untuk mobil adalah gang utama masuk kampung. Mobil yang singgah atau parkir
di gang ini biasanya milik tamu yang berkunjung sebentar.
Bisa jadi karena kondisi tersebut gang kemudian menjadi area paling ideal untuk ruang publik yang hadir secara alamiah. Terutama bagi
anak-anak yang menjadikannya sebagai lapangan nonpermanen. Mereka menggunakan
sendal jepit sebagai pembatas gawang. Mereka juga terbiasa mem-pause
permainan setiap kali ada motor melintas. Aku akrab sekali mendengar mereka
berteriak: 'Sek, sek, ngenteni iki (motor) lewat sek'. Selain terbiasa
menghentikan sementara permainan saat kendaraan melintas, mereka juga bermain
dengan tempo yang tidak maksimal karena bola bisa saja singgah ke halaman rumah
orang seperti kejadian beberapa hari lalu, saat aku jajan di angkringan depan
rumah. Bola tiba-tiba melintas di belakang kepalaku dan hampir mendarat di
penggorengan seandainya si pemilik tidak sigap (juga terbiasa) menangkis bola. Karena
sudah terbiasa, pemilik warung sama sekali tidak marah.
Angkringan inilah yang setiap
sore menstimulus indera penciuman saya. Aroma sambal
goreng teri dan aneka gorengan yang setiap kali dimasak mengeluarkan suara jerejessss
selalu hinggap sampai ke kamar. Kondisi sekenyang apapun bisa mendadak
lapar begitu aku hidu kedua aroma itu. Selain oleh anak-anak yang bermain bola,
jajanan di angkringan ini habis oleh warga lain yang menghabiskan sore di
sekitar angkringan: duduk santai, bercengkrama, atau sambil momong dan menyuapi
anak-anak balita.
Titik keramaian juga bersumber
dari warung bakso di gang masuk kampung. Penjualnya adalah satu keluarga yang
tinggal bersebelahan dengan hunianku. Mereka mulai berjualan sekitar jam 2.
Menjelang ashar. Pembelinya tidak hanya warga sekitar. Tapi mereka dari banyak
tempat. Titik tempat berjualan yang berada di pertigaan jalan utama kampung ini
jadi keuntungan sendiri bagi penjualnya. Mereka yang melintas di setiap ruas
jalan dari berbagai titik untuk hanya sekedar lewat, masuk atau keluar kampung,
pasti akan melewati warung bakso ini dan pasti akan mencium aroma kuah kaldu
bercampur bawang putih yang lagi-lagi menggoda selera. Warung bakso ini di
hari-hari biasa selalu ramai dan akan semakin ramai setiap kali galeri di
sebrang warung sedang menghelat acara-acara besar seperti pameran kesenian dan
pertunjukkan. Apalagi harga semangkok bakso di sini masih di bawah rata-rata
bakso warungan.
Suasana sore yang aku gambarkan
itu hanya berlangsung dua jam saja. Saat magrib datang, orang-orang kembali ke
rumah masing-masing. Gang menjadi sepi kembali. Hanya ada penjual angkringan
dan warung bakso yang buka sampai malam. Tapi kampung ini sebenarnya tidak
pernah sepi-sepi amat. Ada dua sumber keramaian lain yang selalu menghangatkan
kampung. Terutama sore dan malam hari. Sebuah kafe di sisi selatan kampung yang
sepanjang akhir pekan selalu menyajikan live music juga dari galeri seni yang
hampir selalu digunakan untuk berbagai acara.
Comments
Post a Comment