Document pribadi |
Saya ingin meralat ucapan saya pada seorang teman mengenai
Ernest Hemigway yang awalnya saya anggap tidak masuk dalam daftar gaya
penulisan novel yang disukai. Ucapan itu terlontar ketika saya sedang
merampungkan bacaan Fiesta. Saya memiliki tiga buku Ernest: Fiesta,
Farewell to Arms dan tentu saja The Old Man and The Sea. Sebenarnya,
dari ketiganya, buku pertama yang dibaca adalah The Old Man and The Sea,
tapi saya sendiri lupa, bagaimana saya bisa tidak menikmati buku itu dan jatuh
dalam kebosanan, sebagaimana saya dilanda kebosanan berkali-kali ketika membaca
Fiesta dan Farewell to Arms? Saat sedang membaca Fiesta, seorang
teman berkomentar, ‘Kamu bisa ya tahan baca buku Ernest?’. Lucunya, komentar
itu muncul tepat ketika saya hampir saja putus asa dan menghentikan bacaan
saya. Saat itu saya sedang tiba di bagian tertentu dalam buku yang menurut saya
kisahnya amat datar dan terlalu bertele-tele untuk hal yang sebenarnya tidak
signifikan dalam pandangan saya kala itu. Tapi untungnya, saya sedang punya
banyak waktu luang. Jadi tidak ada alasan untuk menghentikan bacaan dan
menyerah begitu saja.
Saya sendiri benar-benar lupa alur dan detail dari kisah
dalam buku The Old Man and The Sea. Karena itu, setelah merampungkan Fiesta
dan Farewell to Arms, saya semakin yakin pada kesimpulan bahwa buku Ernest
hadir untuk menguji kesabaran pembaca yang tidak sabar dan membutuhkan kejutan
yang mendebarkan. Hal yang tidak diberikan Ernest di kedua buku itu. Dua-duanya
adalah kisah yang benar-benar tanpa misteri, sebuah keseharian konstan yang,
dalam Fiesta, meskipun para tokohnya melakukan perjalanan ke
negara-negara lain, tetap terasa membosankan. Saya juga menyimpulkan bahwa,
ternyata! Saya tidak menyukainya dan sesumbar akan menjual buku-buku Ernest.
Tapi kesimpulan saya serta merta berubah setelah saya membaca ulang The Old
Man and The Sea.
Hal yang membuat saya heran adalah, bagaimana saya tidak
menyadari gaya penulisan Ernest sejak pertama saya membaca The Old Man and The
Sea? Jika dibandingkan Fiesta dan Farewell to Arms, buku ini
jelas karya terbaik seorang Ernest dan saya benar-benar menyadarinya pada malam
ketika saya memutuskan membaca kembali. Saat saya mengusap air mata saya di
beberapa halaman terakhirnya: Santiago tua yang pulang kelelahan dan babak
belur setelah berhasil menaklukan gerombolan hiu yang membuat si anak muda
menangis menyaksikan sosok tubuhnya. Mungkin, dulu, ketika pertama kali membaca
buku itu, saya tidak memusatkan diri saya hanya untuk buku itu dan saya yakin,
saat itu saya sedang berusaha mencari kejutan apa yang akan diberikan Ernest,
sampai akhirnya saya kecewa karena tidak menemukan apa-apa selain perjuangan
panjang melelahkan seorang lelaki tua ketika memancing ikan yang tidak pernah
berhasil dia bawa pulang. Anehnya, malam itu saya tidak sedikitpun merasa
bosan. Saya tenggelam sepenuhnya. Seolah berada dalam satu perahu dengan si
Lelaki Tua, Santiago itu dan merasakan setiap hal yang dia rasakan. Terapung di
lautan di bawa oleh ikan Marlin yang tidak juga mau menyerah, menghadapi
kawanan hiu yang menghabisi hasil tangkapannya, merasakan perih saat telapak
tangan Santiago tersayat oleh tali
pancing, mengamati perubahan langit, mengamati kehidupan dalam dan di permukaan
lautan, menguliti ikan yang terpaksa dia makan mentah-mentah. Betapa detail
Ernest menggambarkan semuanya. Setiap tindakan menjadi amat penting dalam buku
itu dan digambarkan sangat rinci sampai-sampai saya bisa memvisualkannya dan
menyimpannya dengan jelas dalam memori otak.
Mengingat kembali isi Fiesta dan Farewell to Arms,
saya juga –baru sadar-- menemukan gaya penulisan seperti yang tidak jauh
berbeda dengan The Old Man and The Sea, walau dari segi cerita, TOMTS nyata
jauh lebih dalam. Ernest sangat detail menggambarkan semua kisah. Misalnya saat
Ernest menggambarkan lansekap alam sebuah kota yang dikunjungi para ekspatriat
di dalam Fiesta. Betapa detail Ernest menggambarkan semuanya. Tidak
hanya pada kondisi alam secara visualnya saja, namun juga pada wujud lain
seperti suara-suaranya dan kehidupan sosialnya. Di Farewell to Arms, detail
penggambaran Ernest juga muncul kembali. Tapi, saya juga sangat suka dengan
cara Ernest yang selalu menyajikan kondisi dan ekspresi emosi setiap tokohnya
dengan sangat terbuka. Misalnya persahabatan antara tokoh utama di Farewell
to Arms dengan temannya yang seorang dokter bedah dan si Pastur.
Kesimpulan saya akhirnya memang bergeser. buku Ernest bukan
untuk orang-orang yang mencari kejutan yang bikin dag dig dug. Buku ini
untuk orang yang ingin meluangkan waktunya –yang dalam istilah teman lain—untuk
benar-benar memperhatikan setiap detail kejadian dan keadaan yang selama ini mungkin
sudah kita abaikan. Kita seringkali berfokus pada hal-hal yang dianggap besar
seperti sebuah tragedi, sehingga kita lupa bahwa hal yang selama ini dianggap
kecil pun, sesuatu yang melekat dalam keseharian kita adalah sesuatu yang
nilainya tidak kurang dan kontribusinya dalam cerita sama besarnya. Di Fiesta,
tragedi kematian orang-orang yang terinjak banteng dalam ritual sebelum
pertandingan inti sama pentingnya bagi Ernest dengan saat ketika rombongan
ekspatriat itu minum-minum di berbagai kafe. Semua tidak luput dari
‘pengawasan’ Ernest. Porsinya tidak ada yang lebih dominan meskipun tetap
menjadikan beberapa topik sebagai konteks cerita.
Bagi saya, terutama dalam The Old Man and The Sea,
Ernest tidak hanya membuat kita mencoba untuk mengamati hal yang selama ini
luput seperti fakta mengenai denyut jantung penyu, tapi lebih dalam lagi, pada
sebuah proses. Dalam kesan saya, dia tidak menekankan kisahnya pada, ‘bagaimana
akhir cerita?’ tapi bagaimana proses dari awal sampai akhir. Itu kenapa saya
merasakan kesan mengambang setiap saya tiba di akhir cerita dari ketiga buku
itu, tapi saya puas dengan perjalanan setiap tokohnya. Meskipun ya, jujur, saya
gemas! Di Farewell to Arms, kisah diakhiri dengan kematian kekasihnya
saat persalinan. Tapi Ernest tidak membuatnya bombastis meskipun tokohnya tetap
diliputi duka dan bahkan dendam juga sesal. Tapi jelas kesan yang tertinggal
adalah bagaimana perjalanan panjang yang harus dilalui dua kekasih itu untuk
benar-benar bisa bersatu tanpa takut diketahui. Bagaimana keduanya harus
mengarungi teluk untuk menyeberang ke negara tetangga dan terbebas dari kecamuk perang adalah sebuah
penggambaran panjang yang, sekali lagi, terasa nyata melelahkan. Dan sodara-sodara, saya mengkhawatirkan
kekasih si tokoh yang sedang hamil dan harus berada dalam kondisi cuacar cukup
ekstrem. Efek itu yang diberikan Ernest pada pembacanya. Di Fiesta,
mungkin kelelahan itu lebih dominan muncul dari aspek psikologis yang dialami
si tokoh utama karena sampai akhir cerita, cintanya tidak pernah berbalas tapi
dalam waktu yang sama, dia tidak pernah bisa menolak permintaan pertolongan
dari si gadis. Dia selalu ada untuknya.
Ernest bisa sampai pada titik yang hampir selalu sama dalam
setiap ceritanya karena semua ceritanya berdasarkan pada pengalaman hidupnya. Formula
yang sepertinya dia terapkan di semua buku. Setidaknya, itu yang saya baca dari
profil singkatnya. Dia pernah menjadi supir ambulan yang kemudian dituangkan
dalam Farewell to Arms. Dia juga seorang ekspatriat, penulis di negara
asing, yang kemudian tertuang di Fiesta. The Old Man and The Sea
jelas adalah manifestasi dari hobinya. Dia adalah pemancing ulung yang sudah
tahu pasti bagaimana rasanya berada di lautan lepas dan menanti umpan digigit.
Dia juga pasti terbiasa berhadapan dengan ikan-ikan besar. Bahkan di biografi
singkatnya di halaman belakang buku, tercantum foto Ernest sedang memamerkan
ikan Marlin hasil tangkapannya yang berukuran hampir melebihi tinggi badan
Ernest. Saya merasa, karena hobi memancingnya ini, Ernest lantas bisa dan
memiliki kemampuan untuk berkisah dengan sabar sehingga berhasil menggambarkan detail-detail
yang kerap terabaikan. Ini penilaian yang mentah karena dari banyak karyanya,
saya baru membaca tiga buku saja. Namun, jelas saya ingin meralat ucapan saya.
Setelah membaca kembali The Old Man and The Sea, saya menyimpulkan bahwa
saya tidak hanya bisa menoleransi dan berkompromi pada karya Ernest, tapi saya
menyukai bukunya. Mau bilang apalagi? Ada cukup banyak waktu luang untuk
tenggelam menikmati setiap detailnya. Tapi jangan harap menemukan kejutan
seperti kamu tiba-tiba menang lotere. Bukan di sini tempatnya. Lebih baik
menonton film horor sekalian.
Comments
Post a Comment