Kawasan pedestrian di Malioboro (doc.pribadi) |
Saat tiba di rumah seorang teman, saya mengabari cukup banyak rintangan yang harus saya tempuh untuk bisa sampai ke rumahnya. Pagi itu, kami berjanji untuk menghabiskan pagi dengan memotret kawasan bersejarah di sekitar rumahnya. Dari kamar kosan, saya memilih untuk berjalan kaki. Sesuai perkiraan, saya menghabiskan waktu sekitar 25 menit untuk sampai di rumahnya. Hal yang tak terduga, bagi saya yang jarang sekali berjalan kaki jauh adalah, ada cukup banyak rintangan yang harus dilewati ketika berjalan kaki di pagi hari. Membuat saya sadar, hal inilah yang dihadapi oleh mereka yang terpaksa harus berjalan kaki setiap hari karena tidak ada pilihan lain. Menurut teman, saya harus menceritakan pengalaman ini. Awalnya saya sama sekali tidak berminat, tapi suasana hati cukup memotivasi untuk saya menuliskannya. Sedikit.
Pagi itu, saya memang sudah bertekad untuk berjalan kaki. Rumah teman saya tidak terlalu jauh. Jika diukur dengan waktu, dengan berjalan santai sambil memotret kondisi sekitar, saya cukup menghabiskan waktu 25 sampai 30 menit saja. Jika menggunakan kendaraan, ukurannya adalah 10 menit dengan satu kali lampu merah, itupun jika kamu terjebak lampu merah dan kepadatan jalan seperti pagi itu. Begitu saya tiba di jalan raya pertama, saya kesulitan untuk menyeberang jalan. Wajar, itu adalah pagi di mana jalan dipadati (jenis kepadatan yang tiga sampai empat tingkat di bawah Jakarta) oleh berbagai macam kendaraan dengan orang-orangnya yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Umumnya bekerja dan berangkat sekolah. Tidak ada satupun kendaraan yang rela memelankan laju kendaraan mereka hanya demi dua sosok yang ingin menyeberang seperti saya dan seorang bapak. Saya menyeberang di depan pasar. Dan lari terbirit-birit saat rombongan kendaraan terlihat menurunkan kecepatan mereka akibat kepadatan yang mengular dari lampu merah yang jaraknya ratusan meter. Bapak yang berada di depan saya bahkan membantu saya untuk menembus kendaraan di sisi berikutnya yang melaju di atas 20 KM/jam.
Setelah menyeberang, rintangan berikutnya adalah trotoar. Orang-orang yang senang meromantisasi Yogyakarta sebagai kota yang super asyik untuk selalu dikunjungi, salah satunya karena suasananya, bisa jadi melupakan trotoar sebagai salah satu sarana untuk menikmati suasana itu. Memang, di pusat-pusat pariwisata seperti sekitaran Malioboro atau titik ‘penting’ lainnya seperti kawasan Kota Baru, trotoar telah tertata dengan baik. Satu dua tahun ke belakang ini, trotoar di beberapa kawasan memang mulai ditata ramah untuk pengaksesnya, dari kalangan disabilitas atau nondisabilitas. Tapi ini tidak, atau mungkin belum terjadi di kawasan lainnya seperti di sepanjang jalan yang pagi itu saya tempuh. Jalanan yang dari Malioboro jaraknya dengan motor hanya 15 menit, yang pada musim-musim libur panjang, juga menjadi rute yang ditempuh para wisatawan yang tidak kebagian tempat menginap di sekitaran Malioboro.
Di beberapa trotoar yang saya lintasi, rintangan yang saya temui adalah mobil yang parkir, --artinya benar-benar memarkirkan kendaraannya—di atas trotoar dengan setengah badan mobil berada di jalan aspal. Tidak heran jika kemudian, spanduk yang menyindir pemilik kendaraan tanpa terlebih dahulu menyiapkan parkiran belakangan banyak tersebar dan sangat mudah ditemui. Saya kira, pencetusnya adalah pengakses utama jalan tempat kendaraan itu diparkir dan merasa terganggu. Entah pejalan kaki ataupun pengendara lain yang kebetulan memiliki sisa tanah yang cukup untuk menjadi parkiran bagi kendaraannya. Protes, biasanya muncul dari perasaan terganggu, yang seringkali awalnya merupakan sikap egois karena kepentingan pribadinya terusik. Seperti saya kali ini. Saya baru menyadari banyak ketidaknyamanan dalam berjalanan kaki sampai-sampai saya mengeluhkannya pada teman dan berujung pada tulisan ini. Jika saja pagi itu saya tidak memilih jalan kaki, mungkin saya tidak akan benar-benar merasakan keadaan yang sebenarnya sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari para pejalan kaki.
Pada satu titik, saya cukup berkompromi dengan mereka yang memarkir kendaraan di trotoar dengan cara meyakinkan diri pada pikiran positif. Itu pagi, saya yakin, pemiliknya akan segera membawa mobilnya ke manapun dia beraktifitas begitu tiba waktunya, dan trotoar pun bisa kembali diakses. Tapi pagi itu, kendaraan di sisi kiri saya begitu padat dan melaju kencang, sehingga saya butuh waktu sekitar lima menit untuk bisa melintasi melewati kendaraan parkir dan melanjutkan perjalanan saya. Sekali lagi, kondisi menganggu baru benar-benar dirasakan ketika kita mengalaminya langsung. Soal kendaraan parkir ini, tentu saja, saya sebagai pengakses jalan dengan kendaraan roda dua juga kerap berkontribusi pada ketidaknyamanan ini. Terutama setiap kali saya harus memarkirkan motor di trotoar ketika toko yang saya tuju, garis pintu tokonya berbatasan langsung dengan trotoar. Atau misalnya ketika saya makan di warung yang lapaknya, tidak lain dan tidak bukan, buka di atas trotoar. Itulah kenapa saya sedikit tidak terlalu berselera menuliskan pengalaman pagi itu. Dalam banyak hal, kita sendiri adalah bagian dari kesemrawutan keadaan. Jangan tanya soal hal-hal absurd lainnya yang dilakukan sendiri oleh pembuat kebijakan, seperti tiang lampu, penanda jalan, dan pohon yang seolah tiba-tiba muncul di tengah trotoar.
Jika saja pagi itu saya tidak mencoba berjalan kaki cukup jauh dengan rute melewati tiga ruas jalan raya di jam ketika semua orang memulai aktifitasnya, dan lalu saya memilih memakai sepeda motor, tentu saja saya tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya menjadi orang-orang yang berjalan kaki di jalanan padat di luar titik pusat pariwisata. Terutama bagi mereka yang tidak punya pilihan. Di Yogyakarta, di mana banyak lansia yang masih aktif berkegiatan, dan sebagian besar bisa kita jumpai di pasar, adalah salah satu kelompok yang mengakses jalan berjalan kaki. Tentu bukan untuk mengakses tujuan jarak jauh karena mereka juga punya kerabat atau transportasi andalan yang mengantar-jemput mereka. Tapi, mereka adalah golongan yang pilihannya terbatas. Mereka tidak bisa mengendarai jenis kendaraan apapun secara mandiri karena faktor usia. Untuk alasan yang sama, mereka juga tidak menguasai teknologi untuk mengakses transportasi online. Mereka sangat tergantung pada orang lain. Sementara jalan yang ada, tidak cukup ramah bagi mereka. Tidak terbayang, dengan laju kendaraan yang cepat atau dengan berbagai hal yang memenuhi trotoar, bagaimana mereka bisa mengakses jalan dengan aman pada saat-saat mereka membutuhkannya?
Kelompok lain adalah disabilitas. Yogyakarta, karena berbagai kebijakannya, konon telah menjadi tujuan tempat tinggal kelompok disabilitas dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini saya dapatkan dari obrolan dengan seorang karyawan di salah satu institusi tua yang fokus bekerja di isu disabilitas. Kelompok disabilitas menyukai Yogyakarta karena kebijakannya menciptakan lingkungan yang nyaman untuk mereka hidup secara berdaya. Dengan banyaknya penduduk disabilitas, bagaimana mereka mengakses layanan publik yang secara spesifik, jalanan? Sama seperti nondisabilitas, kenyamanan akses jalan baru ditemui di titik-titik tertentu. Di jalanan lainnya, trotoar belum sepenuhnya ditata agar bisa diakses disabilitas. Apalagi untuk menyebrang. Belakangan, kita pengendaraan semakin dikejar oleh entah apapun itu, sehingga sulit memelankan laju kendaraan sepersekian detik saja untuk membiarkan orang lain berlari ke seberang jalan. Hanya lampu merah yang cukup memberi kesempatan orang untuk lewat. Itupun dengan sedikit ketakutan kalau-kalau lampu berubah hijau ketika lewat. Karena itu, menyeberang seringkali menjadi perkara yang juga dilakukan secara terburu-buru.
Sejatinya, kondisi jalanan yang tidak nyaman itu juga dirasakan oleh siapapun yang mengakses jalan untuk kepentingan apapun. Saya misalnya, golongan yang menjadikan jalan kaki sebagai aktifitas penyeimbang, juga merasakan ketidaknyamanan ketika saya mengakses jalan tanpa kendaraan. Kekhawatiran utama tentu saja kendaraan yang melaju. Padahal saya baru kembali berjalan kaki hari itu setelah setahun lebih absen. Tidak mudah membayangkan ketidaknyamanan yang harus dihadapi setiap hari oleh pejalan kaki lain. Mungkin itu alasan kenapa semakin banyak orang berhenti berjalan kaki, selain karena kemalasan dan pandangan umum pada pejalan kaki, berjalan kaki artinya berhadapan dengan banyak rintangan seolah jalanan hanya dibangun untuk setiap benda yang beroda. Sudah jelas, di Indonesia, berjalan kaki bukanlah norma. Berjalan kaki adalah sesuatu yang dianggap aneh yang kemudian menjadikan kelompok ini sebagai minoritas. Sebuah gerakan penyadaran pun akhirnya muncul dan dinamai Koalisi Pejalan Kaki. Mereka mengkampanyekan berjalan kaki melebihi gaya hidup, namun juga pada tataran hak sehingga trotoar yang terakses dengan baik menjadi salah satu konsentrasi mereka. Mereka cukup aktif di media sosial. Baru-baru ini, perkara akses jalan juga menjadi tema film dokumenter dari Watchdoc dalam seri Urban mereka.
Soal akses jalan memang sepertinya baru menjadi permasalahan serius di kawasan kota padat kendaraan saja. Sebagaimana Koalisi Pejalan Kaki muncul di Jakarta. Seingat saya, dua tahun lalu, ketika saya tinggal setahun di kawasan pinggiran Kota Yogyakarta, di mana sawah masih cukup luas, dan kendaraan tidak sepadat di jalan-jalan raya utama, berjalan kaki jam berapa saja tidak pernah menjadi masalah. Sekalipun pagi, tanpa ada trotoar, saya bisa berjalan dengan aman karena jumlah pengendara tidak sepadat kota dan sepertinya para pengendara paham, jalan itu adalah jalan perkampungan yang tanpa kesepakatan pun, kamu sadar kamu harus berkendara dengan pelan karena banyak penduduk beraktifitas. Kondisi itu membuat saya nyaman untuk sering-sering berjalan kaki. Di kota, sekalipun itu di dekat pasar yang padat aktifitas, kalau tidak macet oleh sesuatu yang tak terhindarkan, sepertinya tidak ada pengertian semacam itu. Tidak ada kesepakatan tak tertulis untuk memberi ruang pada pengakses jalan nonkendaraan. Mungkin dorongan untuk terburu-buru sampai di lokasi tujuan adalah pemicunya, tapi kadang saya mengalami kondisi yang sama di beberapa jam yang berbeda, di luar jam sibuk. Jika kondisinya seperti ini, ada apa? Mungkin kita semua merasa memiliki hak yang dipandang sebagai sesuatu solid dan tidak bersinggungan dengan individu lain yang juga punya hak. Jalan adalah fasilitas publik, semua orang punya hak dan hak itu tergantung pada cara setiap individu mengakses jalan itu. Berkendara atau berjalan kaki. Di sinilah persinggungan itu. Seberapa jauh kita bisa sampai pada pemahaman bahwa kita berbagi hak dengan orang lain?
Jadi, apakah setelah ini kapok tidak akan berjalan kaki lagi? Mungkin jika saya tidak ingat kebiasaan buruk saya yang bernama mager, saya akan kapok dan memilih berjalan kaki hanya di titik yang sudah terkondisikan seperti kawasan Malioboro, tapi untuk ritme hidup yang saat ini dijalani, jalan kaki harus menjadi kebiasaan untuk menyeimbangkan kebiasaan lainnya.
Comments
Post a Comment