Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim

Kesadaran kritis saya tentang konflik lahan tidak lepas dari konflik semen di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah beberapa tahun lalu. Gerakan penolakan warga secara terus menerus terjadi ketika media sosial sudah menjadi alat ekspresi kejadian sehari-hari warga Indonesia. Membuat informasi mengenai konflik lahan di Kendeng mudah diakses dari berbagai kanal. Banyak aktivis –beberapa di antaranya adalah public figure—yang membahas, memberi dukungan, bahkan secara aktif ikut bergerak menolak industri semen di Kendeng yang disampaikan melalui akun media sosial masing-masing. Media arus utama pun ramai-ramai memberitakan konflik lahan di Kendeng. Saya ingat betul Harian Kompas pernah memuat berita mengenai konflik ini dan mengangkat sosok Gunarti dalam salah satu rubriknya. Aksi penolakan yang dilakukan oleh warga Kendeng selain massif, juga sangat berbeda dan terbilang baru. Salah satu aksi yang mengundang banyak perhatian, simpati sekaligus komentar sinis adalah aksi mengecor kaki dengan semen di halaman istana presiden, Jakarta. Aksi ini dilakukan oleh para aktivis perempuan dari Kendeng. Aksi yang benar-benar menyedot perhatian media dan warga.

Namun aksi penolakan yang massif, dengan model-model aksi yang khas, dan berhasil menyedot perhatian secara luas tidak selalu bisa dilakukan oleh komunitas lain yang menghadapi hal serupa. Banyak kasus konflik lahan yang tidak naik menjadi isu seksi karena gaung gerakannya tidak terdengar akibat berbagai faktor. Bisa jadi, faktor geografis ikut mempengaruhi ini. Terutama untuk kasus-kasus yang terjadi di luar Pulau Jawa. Ada berapa banyak kasus konflik lahan di luar Kendeng yang menjadi pembahasan hangat netizen serta media arus utama? Biasanya, pembahasan menjadi hangat ketika ada kejadian yang menggedor nurani seperti terjadi pada mendiang Salim Kancil. Pemberitaan konflik lahan ini biasanya hanya jadi pembahasan kalangan aktivis lingkungan sendiri atau oleh organisasi dan media yang memberi perhatian khusus pada isu ini seperti geckoproject.id, media yang khusus membahas soal konflik lahan dan hal terkait.

Jika banyak kasus konflik lahan di Pulau Jawa yang tidak menjadi pemberitaan hangat, apalagi dengan kasus konflik lahan di luar Jawa. Salah satunya kasus di Mollo, NTT yang bahkan telah berlangsung bergenerasi. Dalam buku, Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim yang ditulis oleh Siti Maeumunah, tercatat bahwa konflik lahan di Mollo berawal dari kebijakan reboisasi yang terjadi sejak tahun 1990an. Lahan adat yang tadinya dikelola oleh warga melalui sistem pengelolaan berdasarkan kesepakatan wagra sendiri, perlahan beralih dan dikelola oleh negara. Konflik menajam ketika pertambangan ikut masuk. Perjuangan panjang warga Mollo jauh dari hiruk pikuk penderitaan. Nama yang belakangan sering terdengar terkait perjuangan Mollo adalah sosok Aleta Ba’un yang akrab disapa Mama Aleta. Ia adalah aktivis perempuan yang menjadi simpul gerakan penolakan bersama aktivis lainnya yang berjuang mati-matian untuk kembali mengambil lahan mereka dan menyelamatkan lingkungan mereka dari pertambangan.

Dalam catatan Siti Maemunah, yang menarik perhatian saya adalah pembahasan pendek soal hadirnya agama di Mollo yang ikut mempengaruhi mengikisnya budaya moyang masyarakat Mollo. Jauh sebelum kolonialisme masuk ke NTT, Mollo telah menganut kepercayaan lokal yang memiliki ikatan kuat dengan alam. Alam dimaknai sebagai tubuh manusia. Tanah sebagai daging, hutan adalah kulit dan rambut, air adalah darah, batu adalah tulang. Di Mollo, bebatuan memiliki makna mendalam karena fungsi dan manfaat yang dimiliki bebatuan di kawasan Mollo. Dari menyimpan cadangan air, hingga menghadang angin yang bisa merusak tanaman pertanian mereka. Karena itu, tradisi yang dianut oleh warga Mollo adalah tradisi yang melindungi serta melestarikan alam yang di antaranya diterjemahkan dalam berbagai peraturan yang harus diikuti warga seperti larangan menebang pohon tertentu yang berfungsi menyimpan air.    

Kepercayaan dan tradisi yang telah turun temurun itu mulai luntur karena banyak faktor. Tonggak awalnya adalah ketika kolonialisme masuk dan menerapkan sistem pembagian wilayah yang mau tidak mau ikut mengubah sistem yang sebelumnya terlah berlaku secara turun temurun di Mollo. Di samping itu, dalam catatan paragraf yang pendek, ‘agama baru’ disinggung menjadi salah satu hal yang ikut berkontribusi pada mengikisnya kepercayaan dan tradisi lama warga Mollo. Tradisi dan kepercayaan Mollo dilabeli sebagai perbuatan kafir sehingga banyak warga mulai meninggalkan praktik-praktik yang biasa dilakukan dalam siklus kehidupan mereka. Terkikisnya tradisi dan kepercayaan lama terjadi beriringian dengan konflik lahan yang dampaknya semakin hari semakin dirasakan warga. Lahan yang diubah menjadi hutan tanaman industri kemudian gunung-gunung yang ditambang meninggalkan berbagai kejadian pahit seperti matinya banyak sumber mata air, bencana longsor, dan gagal panen.

Melihat bagaimana agama baru dinilai sebagai satu unsur yang berkontribusi pada lunturnya praktik kepercayaan lama, mengindikasikan bahwa agama baru belum banyak hadir dan menjadi solusi untuk permasalahan konflik lahan yang dihadapi warga. Sebaliknya, praktik kepercayaan lama yang sarat dengan upaya menjaga keseimbangan ekosistem justru dilabeli sebagai perbuatan kafir. Namun warga Mollo dan para tetua adat masih menyimpan ingatan kolektif tentang tradisi dan kepercayaan lama mereka. Mereka lantas merefleksikan perubahan drastis alam mereka dan dampak yang dirasakan akibat perubahan fungsi dan penambangan. Dalam setiap benak warga yang akarnya masih tertancap pada kepercayaan leluhur mereka menilai pemulihan alam akibat penambangan dan perubahan iklim bisa dilakukan secara maksimal dengan mengembalikan praktik kepercayaan dan tradisi lama. Keyakinan ini bisa dipahami karena bagaimanapun kualitas hidup warga di masa lalu dengan praktik tradisi dan kepercayaan lama dirasakan lebih baik jika dibandingkan dengan kualitas hidup setelah berbagai kebijakan baru datang.

Sikap keukeuh kembali ke tradisi lama ini bukan hanya perkara mitos dan mistis tanpa bukti. Sebagaimana telah disinggung pada paragraf sebelumnya, praktik tradisi dan kepercayaan leluhur mereka sarat dengan pemeliharaan ekosistem yang beragam. Dalam tatanan pemerintahan lama, mereka mengatur bagaimana hutan harus diperlakukan agar tidak sampai kehabisan sumber hidup seperti air, pohon, serta binatang yang jadi sumber protein bagi warga. Ketika mereka kehilangan kontrol atas lingkungan mereka, kepercayaan lama tidak lagi bisa diterapkan melalui aturan dan sanksi ketika hutan dibabat tanpa ampun bahkan gunung batu penyimpan air di potong seperti sebilah pisau memotong kue tumpeng.      

Nihilnya solusi konkret agama pada permasalahan keseharian yang nyata dihadapi seperti konflik lahan bukanlah hal baru. Agama banyak berkutat pada ritual ibadah individual para penganutnya. Menjadikan agama terkotak dan terpisah dari masalah nyata yang dihadapi dalam hidup sehari-hari si indivdiu yang didakwahinya. Namun inisiasi-inisiasi bermunculan dan sudah dilakukan dengan berbagai cara. Di tubuh NU misalnya, aktivis mudanya mendirikan lembaga khusus yang memberi perhatian pada isu-isu konflik lahan dan lingkungan dengan sudut pandang yang progresif. Di Muhammadiyah sendiri, perhatian pada isu ini mulai diperlihatkan dari upaya melahirkan berbagai kajian terkait lingkungan seperti Fiqih Air dan Fiqih Kebencanaan yang menjadi landasan perspektif tentang pelestarian lingkungan dari sisi agama. Berbagai inisiasi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat keagamaan tersebut menjadi penanda bahwa isu lingkungan mulai mendapat perhatian ‘agama’ meskipun belum dikristalkan sebagai ajaran yang melekat dalam pendidikan keagamaan. Isu ini menjadi penting ketika pada kenyataannya sebagian besar warga Indonesia menganggap bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia adalah hoaks. Instansi keagamaan harus hadir karena di Indonesia, instansi agama memiliki kekuatan besar sehingga berpeluang untuk memanfaatnya sebagai sarana membangun pemahaman dan kesadaran kritis pada soal lingkungan. Bukan alih-alih mengkafirkan.  


Comments