Selalu ada kesan tersendiri ketika untuk pertama kalinya membaca karya seorang penulis. Tidak terkecuali dengan karya James Joyce. Meskipun kerap mendengar namanya, Yang Telah Tiada adalah karya pertama James Joyce yang saya baca. Circa, sebuah penerbitan buku di Yogyakarta menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan mengemasnya menjadi satu buku tersendiri sekalipun dalam edisi aslinya, Yang Telah Tiada atau The Dead masuk dalam kumpulan cerita pendek The Dubliners. Di pengantar sudah dipaparkan, Yang Telah Tiada adalah tulisan terpanjang dalam The Dubliners yang dari jumlah halamannya bisa dikatakan lebih cocok disebut novelet. Bisa dibilang saya bersyukur 'bertemu' James Joyce melalui Circa.
Di halaman pengantar, Circa memberikan ruang bagi penerjemah untuk mengantarkan penulis pada karya yang akan dibaca. Sepanjang ingatan saya, penerbitan besar tidak menyediakan halaman khusus untuk penerjemah. Ini menarik karena bagi pembaca, atau bagi saya sendiri, pengantar dari penerjemah tidak hanya mengantarkan pembaca pada karya, tetapi pembaca juga bisa mengetahui bagaimna penerjemah memaknai karya yang diterjemahkannya. Dari kolom pengantar penerjemah, kita bisa memutuskan apakah karya itu diterjemahkan dengan baik dan penuh suka hati, atau penerjemah bekerja seperti robot. Kita bisa merasakannya dari pemaparan penerjemah. Karena saya percaya, penerjemah yang menerjemahkan suatu karya dengan penuh suka cita akan menghasilkan hasil terjemahan yang bernyawa seperti dalam bahasa aslinya, sehingga pembaca bisa menangkap cerita dan makna di baliknya secara maksimal. Itulah kenapa kolom penerjemah seperti yang disediakan oleh Circa menjadi signifikan. Tapi saya tidak tahu apakah kolom ini berlaku untuk semua buku terjemahan yang diterbitkan Circa atau tidak? Yang Telah Tiada yang diterjemahkan oleh Wawan Eko Yulianto ini adalah buku terbitan Circa pertama yang dibaca.
Sejak dari pengantar, lalu menyelami kisahnya, cerita Yang Telah Tiada sebetulnya mengingatkan saya pada serial Derry Girls yang berkisah tentang para remaja di sebuah kota di Irlandia dan mengambil periode tahun yang lebih maju. Sementara Yang Telah Tiada berlatar tahun dekade awal tahun 1900an. Rentang periode yang jauh ini tidak lantas membuat banyak perubahan soal nilai dan cara pandang yang muncul di keduanya. Batas perbedaan yang mencolok hanya terkait modernitas yang ditandai dengan berubahnya gaya berpakaian dan pembangunan yang ada di Derry Girls. Namun ada kesamaan dalam kedua kisah yang disampaikan dengan dua medium yang berbeda ini. Salah satunya soal sentimen keyakinan antara katolik dan kristen. Dalam Yang Telah Tiada, sentimen ini muncul dalam dua percakapan yang dibangun di cerita. Menarik ketika James Joyce tidak mengakhiri percakapan ini dengan konflik. Mungkin karena percakapan itu dimunculkan saat pesta sedang berlangsung atau bisa jadi ini berkaitan dengan niat awal James Joyce melahirkan cerita Yang Telah Tiada, dia ingin menampilkan keramahan orang Irlandia yang tidak segan menjamu tamunya dengan hidangan mewah memanjakan. Berbeda sekali dengan Derry Girls yang lebih 'berani' memperlihatkan masih tingginya sentimen soal perbedaan keyakinan ini. Satu episode khusus menceritakan soal ini. Untungnya, skenario yang penuh dengan humor ini membuat penonton tidak tegang. Alih-alih, sentimen tersebut justru menjadi sebuah sindiran halus dan sarkasme yang membuat tertawa.
Tapi Yang Telah Tiada tidak semata-mata berkisah soal sentimen perbedaan keyakinan. Banyak hal yang muncul dalam kisah ini. Apalagi dengan tokoh yang begitu banyak. Namun Gabriel adalah salah satu titik fokus karakter dalam kisah ini. Kisah diawali dengan sosoknya yang dinanti, dia yang bersinggungan dengan banyak tokoh, dia yang mengambil peran-peran yang diceritakan dengan detail, dan kisah ini diakhiri oleh dirinya yang merenungi kejadian pada adegan terakhir di sebuah kamar hotel gelap tanpa lampu, di samping isterinya yang terlelap. Dari sosok Gabriel, kita bisa merasakan banyak hal dan ikut merefleksikannya. Perasaan tidak terhubung yang Gabriel rasakan karena latar belakang pendidikan dan lingkaran pergaulannya menimbulkan perasaan tidak nyaman ketika Gabriel berada di tengah keluarga dan tamu mereka. Meskipun dalam pidatonya Gabriel memuji nilai-nilai hidup masa lalu yang menurutnya sangat baik, Gabril tetap menekankan bahwa masa itu tidak perlu menjebak orang-orang dalam romantisme belaka. Gabriel mengajak agar melangkah ke masa depan. Namun di ujung cerita, Gabriel dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup masa kini manusia, tidak terlepas dari masa lalu.
Comments
Post a Comment