Cerita Sorgum Dari Timur

Sorgum dari Timur

Sorgum. Saya telah lama mendengar tentang salah satu jenis pangan ini. Namun perkenalan mendalam dengan sorgum terjadi pada tiga bulan terakhir di tahun 2020 melalui obrolan berjam-jam dengan lebih dari 10 warga di Adonara Barat, Flores Timur, NTT. Obrolan itu tentu saja dilakukan melalui saluran telepon. Covid-19 ‘memaksa’ kita semua beradaptasi pada kerja-kerja jarak jauh. Dari Yogyakarta, di meja kerja, hampir setiap hari saya mengobrol dengan banyak warga, terutama dari Desa Kimakamak. Desa ini menjadi salah satu lumbung sorgum di Adonara Barat karena kondisi alamnya yang cocok untuk sorgum. Si bulir yang tadinya diabaikan kembali dibudidayakan seiring dengan pola cuaca yang tidak menentu. Hujan yang kerap mundur dengan periode yang pendek membuat petani kesulitan menanam padi. Sorgum yang tahan panas menjadi solusi bagi sebagian petani.

Dalam buku Sorgum, Benih leluhur untuk Masa Depan, Ahmad Arif mencatat sorgum pada dasarnya bukan tanaman endemik Indonesia. Penelusuran secara alamiah menemukan jejak awal budidaya sorgum ada di Afrika lalu menyebar ke belahan dunia lain seiring dengan migrasi dan interaksi manusia. Sekalipun bukan endemik, Di Indonesia sorgum memiliki sejarah yang panjang. Jejaknya bisa ditelusuri dari ragam nama lokal sorgum di banyak daerah di Indonesia. Namun di Flores Timur, Ahmad Arif melacak sejarah panjang sorgum melalui tradisi di masyarakat di mana sorgum telah lama hadir sebagai bagian penting dalam budaya bertani dan beragam ritual kepercayaan. Ada tradisi lisan yang mengisahkan tentang kemunculan benih sorgum pertama di daratan Flores Timur. Ada banyak cara pemanfaatan sorgum oleh masyarakat Flores Timur. Namun akar sejarah tersebut tetap tidak cukup mampu membendung pola penyeragaman pangan yang lambat-laun menghapus sorgum dari daftar menu harian masyarakat. Mayoritas masyarakat saat ini masih berfokus pada budidaya padi dan jagung.

Sekalipun mayoritas petani fokus menanam padi dan jagung, sorgum tidak benar-benar punah. Dalam skala kecil, sorgum masih ditanam dan menjadi pangan alternatif. Di Desa Kimakamak, saya mendapatkan cerita yang sama dari banyak warga: Sorgum tetap tumbuh liar di pekarangan, semak-semak, dan hutan. Orang bisa dengan mudah menemukannya sekalipun tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai salah satu pilihan pangan dalam menu harian. Sorgum lebih banyak dimakan gerombolan burung. Namun sebagian responden dewasa yang saya wawancarai masih menyimpan ingatan kehadiran sorgum dalam menu harian mereka di masa lalu. Hendrikus mengaku terakhir makan sorgum pada kisaran tahun 1970an. Mama Jari, di kampung kelahirannya mengalami hal yang sama. Sorgum menjadi menu harian di masa lalu. Keluarganya menyajikan sorgum dalam bentuk nasi dan masakan berkuah. Seiring dengan semakin murahnya harga beras, sorgum lambat laun absen dari menu harian Hendrikus dan Mama Jari.     

Di Desa Kimakamak, sorgum kembali dibudidaya karena ‘dipaksa’ keadaan. Perubahan iklim membawa konsekuensi pada pola cuaca. Hujan semakin tidak terprediksi dengan periode curah yang menjadi semakin pendek. Dengan model pertanian tadah hujan, perubahan ini otomatis berpengaruh besar pada pola tanam. Terutama untuk padi yang sangat bergantung pada hujan. Mayoritas petani di Desa Kimakamak mengaku mengalami gagal panen padi dalam beberapa tahun ke belakang. Sebabnya, hujan turun terlambat dibanding biasanya. Sebagian lantas mencoba membudidaya sorgum dengan dukungan program dari YPPS pada tahun 2017. Menurut Fransiskus, sorgum lebih mudah tumbuh karena tidak membutuhkan banyak air sebagaimana padi. Bahkan, dalam kondisi cuaca yang tidak menentu atau saat curah hujan menurun, sorgum masih bisa dipanen. Fransiskus pun mengaku di periode panen berikutnya dia akan mengalokasikan lahan yang lebih luas untuk menanam sorgum. Tidak hanya untuk dijual, tapi hasil panen sorgum juga akan disimpan sebagai tambahan pangan di keluarga. Di Desa Kimakamak, tiga varian menu sorgum yang banyak dikonsumsi saat ini berbentuk beras, tepung dan cereal.

Mama Jari: Berawal Dari Sorgum Liar

Sebelum tahun 2017, Mama Jari dan Doni suaminya telah lebih dulu memulai inisiatif budidaya sorgum. Ini dimulai sekitar tahun 2015. Mama Jari mencoba budidaya sorgum dari memanen benih liar yang kemudian ditanam di kebunnya. Inisiatif ini tumbuh berkat pengetahuan masa lalu Mama Jari. “Dulu itu, orantua kasih saya makan (sorgum)”, ujar Mama Jari yang bercerita panjang tentang ketertarikannya pada sorgum. Dengan pengetahuan masa lalu, Mama Jari melihat sorgum yang tumbuh liar di Desa Kimakamak berpotensi jadi menu alternatif untuk keluarganya.

Berbeda dengan kebanyakan perempuan di Desa Kimakamak, Mama Jari adalah salah satu petani perempuan yang mempunyai lahan garapan sendiri. Lahan itu tidak lebar dan berada dekat dengan rumah. Tapi di lahan itulah Mama Jari leluasa melakukan percobaan menanam sorgum. Mama Jari mengumpulkan benih liar, disimpan dan mulai ditanam saat mulai memasuki periode tanam. Menurut Mama Jari, sorgum lokal di Desa Kimakamak memiliki bulir yang bagus, berwarna kemerahan dengan rasa yang lebih manis dibanding sorgum yang didatangkan dari luar desa.

Inisiatif Mama Jari tidak berhenti dari menanam sorgum dari benih liar. Mama Jari bahkan mencari cara agar pengupasan sorgum lebih efisien. Di masa lalu, satu-satunya cara mengupas sorgum dilakukan dengan cara menumbuknya. Selain memakan energi, proses pengupasan manual ini juga memakan waktu yang panjang karena kulit sorgum jauh lebih tebal dibandingkan padi. Untuk mensiasatinya, Mama Jari mencoba mengupas sorgum menggunakan mesin penggiling jagung. “Dulu itu pake tumbuk. Karena licin sekali (kulitnya), jadi saya datangkan mesin manual satu. Saya coba giling. Bisa terjadi (bisa digiling). Jadi saya fokusnya di situ”, cerita Mama Jari malam itu. Mesin yang dibelinya dari kota kecamatan di Waiwadan adalah mesin manual yang digerakkan tangan. Namun berkat mesin itu proses pengupasan sorgum menjadi lebih efisien. Sejak budidaya kembali dimulai pada 2015 hingga saat ini, sorgum kembali jadi menu harian keluarga Mama Jari. Mama Jari bahkan mengenalkan sorgum ini pada masyarakat di luar Desa Kimakamak.

Stunting dan Sorgum Dalam Menu PMT

Dalam satu dekade ke belakang, sorgum di Flores Timur memang kembali dibudidaya sekalipun belum semasif padi. Namun dukungan nyata pemerintah pada budidaya sorgum pelan-pelan mulai terlihat. Salah satunya mendorong sorgum sebagai salah satu menu utama dalam program penghapusan stunting di NTT. Doni, kepala Puskesmas di Waiwadan menyatakan Adonara Barat memiliki angka kasus stunting tertinggi atau sekitar 55% dari total jumlah balita di Flores Timur pada tahun 2018. Kemudian pemerintah meluncurkan program Gerobak Cinta untuk menekan kasus stunting. Berkat program ini, secara berturut-turut angka stunting menurun. Pada 2019 angkanya menurun menjadi 33% dan menjadi 26% di tahun 2020. Angka ini berhasil ditekan salah satunya berkat program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) selama 90 hari untuk anak dari usia 6 bulan hingga di atas 2 tahun. Dalam program PMT ini, pemerintah mendorong agar pangan lokal masuk dalam menu PMT. Salah satunya sorgum.

Memilih sorgum sebagai salah satu menu dalam program PMT menjadi masuk akal jika menilai kandungan gizi yang dimiliki si bulir ini. Ahmad Arif dalam Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan memaparkan sorgum mengandung nutrisi yang kaya dan merupakan karbohidrat kompleks yang artinya mengandung serat dan pati. Sorgum sendiri mengandung 12 nutrisi yang dibutuhkan untuk anak usia 1-9 tahun dan menjadi salah satu pangan yang memenuhi Asupan Nutrisi Terekomendasi (RNI; Recommended Nutrient Intakse) yang disarankan oleh WHO. Dengan kata lain, sorgum dalam menu PMT sejalan dengan kebutuhan gizi anak-anak stunting di Adonara Barat.


Namun pemberian sorgum pada anak-anak tidaklah mudah. Fransiska, bidan yang bertanggung jawab untuk program PMT di Desa Kimakamak menceritakan kesulitan yang dihadapi saat menyajikan olahan sorgum. Anak-anak masih asing pada rasa sorgum, terutama pada anak-anak yang sudah mengenal rasa. Kondisi ini dibenarkan oleh Doni. Fransiska behkan berkonsultasi pada ahli gizi di Waiwadan. “Anak-anak tidak makan sama sekali. Kemudian konsultasi ke tenaga gizi puskesmas. (Disarankan) agar anak-anak terbiasa, sorgum diolah dengan kacang merah dengan perbandingan 50:50. Kemudian secara bertahap mengurangi takaran kacang merah jadi 25:75. Minggu ketiga baru mau mengkonsumsi sedikit-sedikit. Anak-anak juga cenderung suka sorgum cereal yang diseduh dengan susu,” ujar Fransiska. Namun terlihat jelas bahwa pemerintah mulai memberikan perhatian pada pentingnya memasukkan pangan lokal dalam program-program pemerintah.

Pengolahan dan Lidah yang Masih Asing

Sorgum secara karakter terbilang cocok tumbuh di bentang tanah NTT yang kering dengan curah hujan pendek. Di bukunya, Ahmad Arif menyajikan peta budidaya sorgum yang banyak tersebar antara Flores hingga Lembata. Salah satunya di Adonara Barat. Menurut Doni, di Adonara Barat, Desa Kimakamak merupakan salah satu lumbung sorgum. Sorgum dari Kimakamak memasok kebutuhan PMT untuk seluruh puskesmas di 5 kecamatan di Adonara dan daratan Flores. Di Kimakamak, seperti yang disampaikan oleh hampir semua responden, sorgum tumbuh dengan baik. Namun belum semua mau beralih karena berbagai alasan. Salah satunya karena harus kembali belajar dari awal cara-cara menanam sorgum. Selama ini petani telah terbiasa menanam padi dan jagung.

Berbeda dengan alasan para petani lelaki, bagi para perempuan, tantangan dalam konsumsi sorgum adalah pada proses pengolahan. Marlinda Nau, responden dari Desa Taiftob di Mollo mengungkapkan bahwa mesin penggiling untuk mengupas sorgum belum lumrah ditemui sebagaimana mesin penggiling padi. Padahal, kulit sorgum jauh lebih tebal. Marlinda Nau masih mengupasnya dengan cara menumbuknya. Kelangkaan mesin menurut Marlinda karena sorgum belum umum ditanam. Inisiatif Mama Jari menjadi penting karena mesin yang sedianya ditujukan untuk menggiling jagung, pada praktiknya bisa digunakan untuk menggiling sorgum. Dorongan inovasi teknologi yang memudahkan akan bisa membantu proses adaptasi masyarakat menjadi lebih mudah.

Tantangan yang juga banyak disuarakan adalah tentang selera. Terutama pada anak-anak. Fransiskus mengaku anak-anaknya hanya mau mengkonsumsi sorgum dalam bentuk cereal yang diseduh susuh. ‘Jadi rasanya sepergi energen,’ ujar Fransiskus. Anak-anak cenderung menolak ketika sorgum dimasak seperti nasi. Ini mengingatkan saya pada cerita nasi thiwul di Gunungkidul. Generasi yang lebih muda mengaku tidak terlalu menyukai thiwul yang saat ini lebih terkenal sebagai komoditas pariwisata. Bagi penduduk dewasa yang pernah mengenal sorgum, beradaptasi pada rasa baru selain rasa manis beras padi bukan upaya yang sulit. Tapi bagi anak muda, yang tidak memiliki kenangan rasa sorgum, lidah mereka sangat asing dengan rasa sorgum. Namun upaya pemerintah melalui PMT bisa jadi pintu untuk mengenalkan sorgum kembali pada generasi muda. 


*catatan ini adalah data-data yang sebagian tidak termuat dalam laporan kajian ICDR bersama Oxfam pada Agustus-Oktober 2020  

Comments

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - JMT Hub
    Borgata Hotel 안산 출장안마 Casino & 경기도 출장안마 Spa 안양 출장샵 has been named the best hotel and casino in New Jersey by Travel + Leisure. The resort features 2,108 rooms, 구리 출장마사지 with 1,600 slot machines, 이천 출장샵

    ReplyDelete

Post a Comment