Hari ini aku
berusaha keras untuk berpikir positif dan lebih bersemangat. Ternyata tidak
mudah. Pikiranku terlalu sibuk lari ke mana-mana dan tersedot oleh hasil
pemeriksaan laboratorium kemarin. Aku merasa cukup stress. Leherku terasa kaku
sekali. Tidak ada hal lain yang bisa mengalihkan pikiranku. Aku pikir ini
gejolak emosi yang tertunda. Kemarin, aku sibuk mengatur rencana apa saja yang
harus aku lakukan setelah aku resmi dinyatakan mengidap diabetes oleh dua orang
dokter. Kemarin aku merasa optimis akan bisa melewati semua ini dan optimis
bisa beradaptasi dengan pola hidup yang disarankan dokter, tapi hari ini
tiba-tiba aku merasa tertekan. Aku teringat angka 241 yang tertera di lembar
hasil pemeriksaan laboratorium yang menjadi penegas bahwa aku pengidap diabetes
dengan kadar yang berisiko tinggi. Mengingat usia yang baru di angka 33 tahun,
status ini semakin membuatku tertekan. Aku merasa terlalu muda untuk mengalami
ini sekalipun pola hidup dan riwayat keturunan sebenarnya memberi signal bahwa
aku termasuk kelompok berisiko. Pikiranku berkali-kali tertuju pada beberapa
orang yang aku kenal yang meninggal dengan riwayat sakit diabetes, termasuk
ibuku sendiri. Sulit sekali untuk mengalihkan pikiran-pikiran kelam.
Sepertinya
aku memang harus menjalani fase ini dan menerimanya dengan baik. Fase
keterkejutan, penolakan, ketakutan dan perasaan kalut yang melemparkanku pada
segala kemungkinan terburuk dari status baru ini. Aku mulai menyadari bahwa aku
harus memberi ruang pada diriku sendiri untuk mengalami semua perasaan itu.
Seperti yang biasa aku lakukan dalam banyak kondisi. Sebuah panduan hidup
penting dari seorang Biksu yang aku dapatkan dari catatan Eric Weiner yang
cukup berhasil. Menerima perasaan yang sedang dirasakan saat ini karena pada
akhirnya seperti hukum alam, bumi berputar pada poros tertentu. Siang akan
berganti malam. Begitu juga perasaan yang aku alami. Sang Biksu berkata,
perasaan akan saling berganti. Duka akan berganti bahagia. Semua bersiklus.
Perasaan kalut dan takut yang sedang aku alami ini aku rasa adalah reaksi wajar
setelah aku menerima informasi status baruku sebagai pengidap diabetes.
Keterkejukan yang hadir karena hasil di luar dugaan. Besok lusa aku akan
memeluk perasaan lain yang lebih optimistik.
Setelah aku
pikir-pikir lebih dalam, lucu juga dengan cara Tuhan bekerja. Sebenarnya, aku
merencakan pemeriksaan darah sebagai medical check up tahunan. Tapi aku baru
merasa mendesak belakangan begitu tubuhku memunculkan banyak signal tak
menyenangkan. Awalnya aku berencana melakukan pemeriksaan darah minggu lalu
sebelum aku berangkat kerja ke Medan. Saat itu, perawat tidak menyarankan
karena aku belum menjalani puasa minimal 7 jam yang penting untuk mendapatkan
hasil maksimal pada komponen pemeriksaan kadar kolestrol. Hari Selasa tanggal
30, sepulang dari Medan badanku rasanya sangat lesu, tapi aku meniatkan diri
untuk melanjutkan niat yang tertunda. Pagi tanggal 31 Agustus 2022, aku
berjalan kaki ke AMC dan langsung mendaftar. Tadinya aku hanya berniat melakukan
cek untuk tiga komponen utama, gula darah, kolestrol dan asam urat. Namun admin
pendaftaran menyarankanku untuk terlebih dahulu konsultasi dengan dokter di
poli umum agar lebih yakin dengan pilihan tes yang akan diambil. Aku
berkonsultasi dengan Dokter Rizal, dokter muda tapi begitu ramah dan memiliki
artikulasi yang baik sehingga aku bisa dengan nyaman menyampaikan berbagai
keluhan di tubuh. Dokter Rizal kemudian menyarankanku mengambil beberapa
komponen tes sesuai dengan keluhanku: Darah rutin, kolestrol total, HDL-LDL,
trigliserida, glukosa puasa dan asam urat.
Dengan
komponen yang cukup banyak ini, butuh waktu dua jam sampai hasil tesku keluar.
Saat mengambil hasil tes dan kembali ke ruangan Dokter Rizal, aku tidak
berpikir hal lain selain dugaanku di awal. Dari sinyal tubuh dan kebiasaan
makan, aku menduga punya masalah dengan kadar kolestrol saja. Namun saat Dokter
Rizal membuka ampol hasil tesku, air mukanya tidak senatural pertemuan di awal.
Dia berusaha mengatur ekspresinya tetap tenang dan menyampaikan bahwa hasil tes
menunjukkan ada tiga komponen yang mengkhawatirkan. Kolestrol, trigliserida dan
glukosa puasa saya sama-sama tinggi. Semuanya ada di atas angka 200 dan
menyatakan bahwa tingkat glukosa saya yang perlu segera direspon karena berada
di angka 241.3. Setelah membaca banyak literatur, angka itu sudah jauh di atas
batas normal yang seharusnya ada dalam rentang angka 75-110. Saya
cukup terkejut karena angka gula darah yang tinggi benar-benar di luar dugaan.
Dokter Rizal
lantas menawarkanku berkonsultasi langsung dengan dokter ahli dalam. Aku
familiar dengan nama dokter yang disarankan karena pernah melakukan pemeriksaan
dengannya akir tahun lalu. Dengan pertimbangan yang singkat, aku menyetujui
sarannya. Dokter Rizal memberiksan rujukan internal dan bahkan
mengantarkanku sampai ke lantai 2, ke tempat praktik seluruh dokter spesialis.
Pertemuan keduaku dengan Dokter Agus, dokter yang dirujuk oleh Dokter Rizal
menandai episode baru hidupku. Di ruangan 3 kali 6 meter, Dokter Agus yang didampingi
seorang perawat itu resmi menyampaikan bahwa aku mengidap diabetes yang
berisiko komplikasi. Seperti di pertemuan pertama, Dokter Agus menggunakan
analogi-analogi yang mudah dipahami awam sepertiku untuk menggambarkan komponen
gula darah jika tidak segera dikendalikan. Selama hampir 30 menit, Dokter Agus
mengedukasi langkah-langkah yang harus aku lakukan. Mengubah pola hidup dan
lebih spesifik mengatur pola makan harus jadi langkah awal dan dilakukan
selamanya, sumur hidup.
Siang itu,
sudah tertulis bagiku untuk menutup bulan kemerdekaan dengan status baru
sebagai pengidap diabetes. Semuanya menjadi semakin nyata setiap kali aku
membuka amplop dan melihat angka Glukosa 241. Aku tidak tahu sejak kapan kadar
gula dalam tubuhku tidak terkontrol. Kapan aku memasuki periode prediabetes
yang katanya bisa diatasi jika segera terdeteksi. Signal-signal tubuh
sebenarnya telah muncul dalam periode tiga tahun ke belakang. Kesemutan, ujung
jari jemari kaki dan tangan yang kerap kebas, mudah lelah, dan langganan sakit-sakit
lainnya. Namun hatiku baru benar-benar bertekad melakukan pemeriksaan darah
pada pertengahan tahun ini, ketika aku harus bepergian ke luar kota untuk
kerja. Ada dorongan kuat untuk memastikan tubuh baik-baik saja sehingga bisa
bekerja dengan maksimal dan tetap menjaga kondisi tubuh. Atau memang Tuhan
sudah menyuratkannya seperti itu. Melakukan pemeriksaan sekarang saat aku harus
benar-benar berubah seperti keinginanku selama ini: menua dengan sehat. Lagi,
niat yang tidak selalu bisa aku realisasikan. Pilihan merealisasikan secara
sukarela, atas kesadaran sendiri sekarang sudah tertututp dan diambil alih oleh
hasil laboratorium. Sedikit menyebalkan tapi tidak apa-apa. Seperti kata Dokter
Rizal, sudah bagus sekarang sudah terdeteksi. Aku jelas menjadi tahu apa saja
yang perlu aku lakukan.
'Yang dua tidak harus dihabiskan. Yang empat harus habis ya", ucap seorang petugas di loket farmasi. Aku pulang membawa enam jenis obat. Intervensi tahap pertama yang menurut dokter penting untuk segera mengontrol kadar gulaku. Ini baru pertemuan pertama. Bulan depan aku harus kembali lagi. Melakukan cek darah kembali dengan dua komponen untuk memastikan apakah obat dan pola diet baru yang saya jalani memberi efek menurunkan kadar gula darah dan dua komponen lainnya penyumbang risiko komplikasi. Berharap kabar gembira di bulan yang akan datang.
Comments
Post a Comment