Menyoal Pangan Indonesia Dari 'Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan'


Pada 17 Februari 2021 lalu, Tempo.co merilis berita mengenai kondisi pangan di Indonesia. Arif Satria, Rektor IPB menyoroti beberapa problem pangan Indonesia berdasarkan data global, di mana Indonesia berada di peringkat 60 untuk aspek keberlanjutan pangan dan di peringkat 62 dari 113 negara untuk aspek keamanan pangan. Jika dibandingkan, Indonesia berada di bawah Zimbabwe dan Ethiopia. Dua negara Benua Afrika yang sebelumnya sangat lekat dengan terminologi kelaparan.

Membicarakan pangan, terutama pada saat pandemi, memang menjadi sangat kompleks. Di Indonesia, dalam laporan kajian yang dirilis oleh Smeru mencatat bahwa Indonesia menghadapi problem ganda terkait dengan pangan. Tidak hanya terkait pemenuhan pangan namun juga terkait dengan kualitas pangan. Ini karena Smeru sendiri menemukan bahwa Indonesia masih menghadapi problem kekurangan gizi yang menjadi pemicu stunting dan wasting. Sementara di sisi lain, Indonesia juga menghadapi problem risiko obesitas dan problem mikronutrien.

Dalam penelusuran Ahmad Arif dalam Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, problem terkait pangan yang sekarang dihadapi tidak terlepas dari sistem pangan global serta kebijakan pemerintah yang membawa implikasi pada berubahnya tatanan pangan dan pola konsumsi masyarakat. Tidak terkecuali di Indonesia. Kita tahu bahwa secara global, produksi pangan selalu mengalami surplus. Dunia ini memiliki jumlah pangan berkali-kali lipat dibandingkan apa yang dibutuhkan penduduk bumi. Namun faktanya, tidak sedikit penduduk yang mengalami kesulitan akses pada pangan yang berkualitas. Ini menandakan bahwa pangan belum terdistribusi secara merata dan ada ketimpangan akses pangan.  

Di Indonesia, salah satu problem akut terkait pangan adalah kebijakan penyeragaman pangan yang bias dan mengabaikan keanekaragaman pangan sesuai dengan kondisi geografis dan potensi alam setiap daerah. Seperti yang dicatat Arif, pola penyeragaman pangan ini telah terjadi secara perlahan karena berbagai faktor. Namun di era Soekarno, kebijakan terkait penyeragaman pangan mulai muncul. Salah satunya kebijakan untuk menggenjot produksi beras yang kemudian direvisi oleh Soekarno setelah target yang ditentukan gagal. Buku Mustikarasa adalah salah satu contoh revisi kebijakan Soekarno yang mencoba memetakan pola konsumsi pangan di seluruh daerah di Indonesia melalui pendokumentasian menu-menu yang disantap.

Pada era Soeharto, kebijakan penyeragaman pangan dipertegas dengan kebijakan yang kita kenal sebagai revolusi hijau. Kebijakan ini pada dasarnya dipengaruhi oleh trend global. Jika penyeragaman pangan tingkat global berfokus pada intensifikasi gandum, Indonesia, yang bukan habitat gandum, difokuskan pada produksi beras. Kebijakan ini membuat produksi beras dilakukan secara intensif di berbagai wilayah Indonesia. Soeharto bahkan menjadikannya sebagai alat politik dengan cara menempatkan beras sebagai komponen gaji bagi pegawai pemerintah. Beras pun menempati status sosial tertinggi sebagai pangan yang menandakan kesejahteraan konsumennya.

Dampak revolusi hijau ini sangat nyata dari beragam aspek. Terutama pada aspek penggerusan sumber pangan lokal. Seiring dengan kemudahan akses beras, beberapa daerah mulai meninggalkan sumber pangan lokal dari sumber pangan pokok. Ironinya, peralihan pola konsumsi dari beragam sumber pangan lokal ke beras terjadi di berbagai wilayah yang secara geografis tidak bisa memproduksi padi. Ahmad Arif mencontohkan bagaimana wilayah-wilayah yang tadinya bergantung pada potensi lokal sebagai sumber pangan utama seperti umbi-umbian kemudian beralih ke beras. Dalam catatan Arif ini terjadi di berbagai wilayah terutama seperti Papua.   

Di Jawa, daerah Gunungkidul adalah contoh nyata implikasi dari kebijakan revolusi hijau. Bentang alam yang kering di Gunungkidul pada dasarnya tidak cocok untuk tanaman penyedot air. Karenanya, dalam sejarahnya, tradisi pangan masyarakat Gunungkidul sangat dekat dengan kondisi alam. Untuk karbohidrat utama, masyarakat Gunungkidul tidak hanya mengkonsumsi beras. Dalam buku Ketangguhan Yang Tersembunyi tercatat hingga tahun 1970an, gaplek (yang ditanak menjadi nasi thiwul) masih menjadi sumber karbohidrat utama. Kondisinya berubah pada tahun 1980an ketika produksi padi semakin massif dilakukan. Paahal di Gunungkidul, seluruh tanaman hanya bisa ditanam dengan satu periode panen. Termasuk padi lahan kering. Singkong sendiri sangat cocok untuk kondisi geografis Gunungkidul. Sumber protein mereka juga salah duanya adalah belalang dan ulat jati.

Implikasi dari penyeragaman pangan juga bisa ditelusuri di Papua. Pada 2018 lalu, Indonesia digegerkan berita bencana gizi buruk di Agats, Asmat yang merenggut 64 nyawa anak-anak. BBC Indonesia merilis berita panjang bencana ini. Salah satu analisis menarik adalah mengenai warga yang gagal memenuhi kebutuhan pangan yang belakangan mulai bergantung pada beras. Padahal, selama berabad-abad, sumber pangan masyarakat Papua tidak lepas dari potensi pangan lokal. Arif mencoba menyusun pola pangan masyarakat Papua secara kronologis berdasarkan fakta sejarah. Di kawasan dataran tinggi, sumber pangan mereka adalah umbi-umbian seperti talas, keladi dan ubi. Sementara di dataran rendah, mereka memenuhi kebutuhan karbohidrat dari pohon sagu yang tumbuh subur di sekitar rawa-rawa. Kondisi ini berubah seiring kebijakan penyeragaman pangan. Masyarakat Papu tidak hanya beralih mengkonsumsi beras, namun mereka juga mulai mengkonsumsi mie instan.

Sulit menyangkal fakta-fakta bahwa sistem pangan global yang disusul kebijakan di masing-masing negara, secara nyata telah gagal menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Terutama pada pangan yang berkualitas. Ini membawa banyak implikasi yang salah satunya telah nyata dirasakan di Indonesia. Kondisi ini bisa menjadi semakin nyata karena perubahan iklim dan pandemi. Semangat kedaulatan pangan yang memiliki empat prinsip utama, di mana salah satunya menekankan pentingnya kemerdekaan untuk memproduksi pangan di tingkat lokal berdasarkan potensinya, bisa menjadi salah satu jawaban untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Urgensinya semakin nyata dengan fakta bahwa segala bentuk kebijakan untuk menggenjot produksi beras kerap menemukan kegagalan. Ini tidak hanya problem kondisi geografis seperti Kalimantan yang merupakan lahan gambut, namun juga tergerusnya lahan menjadi ancanaman nyata. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim yang memberi dampak pada pola pertanian masyarakat. Terutama bagi Indonesia dengan adaptasi teknologi yang berjalan lambat.

Inisiatif untuk beralih ke pangan lokal dan pola konsumsi pangan beragam sebenarnya telah mulai banyak dilakukan. Di Adonara Barat, NTT, selama satu dekade ini masyarakat telah kembali membudidayakan sorgum. Selain karena faktor iklim yang semakin menyulitkan proses penanaman padi, sorgum juga merupakan tanaman yang –fakta sejarah menunjukkan—cocok dengan kondisi alam di NTT. Dengan kandungan gizi yang kaya, sorgum bagi masyarakat Adonara Barat jelas merupakan potensi pangan yang luar biasa. Tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sorgum juga bisa jadi solusi nyata menekan stunting di NTT. Namun upaya-upaya ini tidak akan bisa menjadi aksi ‘getok tular’ dalam skala nasional tanpa adanya dorongan kebijakan di pemerintah di berbagai level.                                                   




Comments

  1. Joker388 Slot Review | €500 Bonus + 200 Free Spins - Riders Casino betway login betway login クイーンカジノ クイーンカジノ 9315 things to know about poker - 닉스 카지노

    ReplyDelete
  2. How to make money by playing with money in a casino - Work
    Money is the most important gambling concept งานออนไลน์ to 바카라 understand and understand. It is used by casino players and is the basis 인카지노 of the most important

    ReplyDelete

Post a Comment